Bagikan:

JAKARTA – Ungkapan Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 Fahri Hamzah soal biaya politik yang mewah membagi para pengamat ke dalam dua kubu. Ada yang setuju, tapi ada pula yang optimistis bahwa berpolitik di Indonesia tidak hanya mengandalkan fulus.

Dalam sebuah kesempatan, Fahri membeberkan modal minimal yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi anggota DPR. Tidak main-main, menurutnya, butuh uang miliaran rupiah untuk bisa duduk di kursi wakil rakyat.

“Saya kira range-nya mungkin ya, dari orang yang betul-betul enggak terlalu punya itu mungkin kalau untuk pusat Rp5 miliar sampai Rp15 miliar,” kata Fahri pada 24 Mei 2023.

Ketua Komisi Pemilihan Umun (KPU) Kota Jakarta Pusat Efniadiyansyah (kiri) menyerahkan kotak suara Pemilu 2024 kepada salah satu stafnya di Gudang KPU Jakarta Pusat, Sawah Besar, Jakarta, Kamis (2/11/2023). (Antara/Aditya Pradana Putra)

Biaya politik bisa jauh lebih besar ketika bicara soal pertarungan pemilihan presiden. Modalnya, diucapkan Fahri, bisa mencapai triliunan rupiah.

“Tapi kalau pilpres lebih gila menurut saya. Di Indonesia kalau orang tidak punya uang Rp5 triliun, nggak bisa nyapres dia. Sadar atau tidak,” tegasnya.

Tidak Ada Tarif untuk Kontestasi

Tingginya biaya politik di Indonesia menjadi sorotan. Banyak yang menilai biaya politik yang mewah ini menjadi salah satu penyebab politikus yang terjerat korupsi, bahkan di tingkat kepala daerah. Hal ini bahkan diakui oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata.

Hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada Pilkada 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk memenangi kontestasi pemilihan bupati/wali kota berkisar Rp20-30 miliar. Sementara untuk Pilgub jumlahnya jauh lebih tinggi berkisar Rp 20-100 miliar. Biaya politik itu jauh lebih besar daripada gaji rata-rata kepala daerah yang berkisar Rp5 miliar selama satu periode.

“Sebuah pertanyaan besar, kenapa banyak kepala daerah yang korupsi, ternyata biaya politik yang mahal akar masalahnya,” ujar Alex dalam siaran pers pada 4 Juli 2023.

Namun, anggapan bahwa butuh biaya besar untuk berpolitik tidak sepenuhnya diamini oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah. Dedi menegakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak pernah menyebutkan tarif pendaftaran kontestasi.

Inspektur Kota Medan Sulaiman Harahap mengangkat bendera sebagai pertanda pelepasan Roadshow Bus KPK di Medan, Sumut, Ahad (29/10/2023). (Antara/HO-Diskominfo Kota Medan)

“Biaya tinggi itu inisiatif dari peserta dan partai, karena mereka sejak awal mengira uang adalah sumber keterpilihan, situasi ini membuat pemilih kian pragmatis karena mengira setiap kontestan pasti akan menyebar uang. Padahal, itu semua tidak benar,” kata Dedi kepada VOI.

“Menekan biaya politik bisa dengan penguatan PKPU, misalnya mengatur teknis kampanye yang memang hemat, saat ini tidak ada aturan itu, sehingga setiap orang berlomba dengan standar masing-masing,” imbuhnya.

Korupsi Murni Penyakit Mental

Kenyatannya, biaya politik yang tinggi menjadi penyebab korupsi juga bisa dilihat dari banyak kasus. Data KPK menunjukkan sejak 2004 hingga 2020 ada 150 kepala daerah yang terjerat korupsi, terdiri dari 21 gubernur dan 129 bupati/wali kota.  

Salah satu kasus korupsi kepala daerah adalah ketika KPK menangkap pasangan politikus Ben Brahim S Bahat dan istrinya, Ary Egahny. Ben adalah Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, sementara Ary merupakan anggota Fraksi Partai Nasdem.

Ben dan Ary diduga melakukan korupsi untuk mendanai kontestasi di Pilkada maupun Pileg, membayar lembaga survei nasional, dan membiaya kebutuhan hidup. Keduanya diperkirakan menerima hasil korupsi senilai Rp8,7 miliar.

Menjelang Pemilu 2024, bukan tidak mungkin praktik ini kembali terulang. Namun, Dedi mengatakan korupsi yang dilakukan politikus tidak hanya didasari karena biaya politik yang mahal, tapi memang sudah menjadi penyakit mental si koruptor. Belum lagi ditambah regulasi biaya politik yang belum maksimal menjadi penyebab banyaknya uang yang mesti dikeluarkan politikus.

Tersangka Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S. Bahat (kedua kiri) dan istrinya yang juga anggota DPR Fraksi NasDem, Ary Egahni (kanan) berjalan menuju ruangan konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (28/3/2023). (Antara/Sigid Kurniawan/foc)

“DPR RI misalnya, ada kandidat yang berhasil mendapat suara hingga lolos ke parlemen dengan modal logistik tidak lebih dari 3 milyar, sementara penghasilan dari DPR RI satu periode bisa lebih dari itu. Artinya, tanpa korupsi sekalipun hidup mereka sudah terjamin,” Dedi menjelaskan.

“Korupsi murni penyakit mental, di tambah regulasi soal pencegahan yang belum maksimal. Bukan karena faktor biaya tinggi politik,” tambahnya.

Ia menegaskan, tidak sedikit aktivis yang lolos tanpa harus memakan biaya besar, meskipun memang lebih banyak yang berbiaya besar. Menurutnya, ‘orang kaya’ ini justru telah merusak kontestasi politik.

“Artinya, biaya besar bukan kebutuhan kontestasi, tetapi hanya dampak buruk dari kebiasaan orang kaya yang menghitung suara dengan uang. Itulah sebab menggunakan uang agar dipilih itu kriminal. Sebaiknya tidak dipilih oleh publik,” kata Dedi memungkasi.