JAKARTA – Di tengah hiruk pikuk politik menjelang Pemilihan Presiden 2024, isu terkait krisis iklim dan lingkungan hidup seolah sepi dari pembahasan. Padahal, ini adalah isu-isu yang bersinggungan langsung dengan masyarakat.
Tiga bakal calon presiden dan calon wakil presiden telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Rabu, 25 Oktober 2023 lalu. Mereka adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Ketiga pasangan tersebut sudah men-spill atau membocorkan beberapa program yang bakal dijalankan jika terpilih menduduki RI1 tahun depan. Ada kesamaan di antara ketiganya, yaitu sama-sama tidak menjadikan isu lingkungan dalam prioritas gagasan, sehingga memunculkan kesan masalah lingkungan dan iklim masih dianaktirikan.
Isu Lingkungan Hidup yang Terlupakan
Pemilu 2024 merupakan agenda politik yang krusial. Pada 14 Februari 2024, seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih akan memilih presiden secara langsung untuk kelima kalinya.
Ini adalah momen bagi para Capres untuk menunjukkan komitmennya menangangi sederet isu lingkungan hidup.
Mengutip Antara, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 95 persen bencana yang terjadi di tahun 2022 merupakan bencana hidrometeorologi, yaitu banjir dan longsor. Bencana dalam kelompok hidrometeorologi merupakan yang terbanyak, dengan kecenderungan mengalami peningkatan yang dipicu oleh perubahan iklim.
Namun di tengah kian mendesaknya masalah lingkungan hidup, tiga pasangan Capres ini seolah mengabaikan permasalahan tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh Uli Artha Siagian selaku Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional. Uli menyoroti dua isu lingkungan paling penting yang seharusnya mendapat perhatian khusus para bakal capres, yaitu krisis iklim dan ketimpangan agraria.
“Krisis iklim tidak hanya menjadi pembicaraan di Indonesia, tapi juga global. Penyebabnya adalah pelepasan emisi, penggunaan bahan bakar fosil perubahan lanskap hutan yang menjadi perkebunan sawit misalnya,” kata Uli saat dihubungi VOI.
“Sementara isu ketimpangan agraria terjadi karena negara sangat murah hati memberikan izin kepada korporasi. Dua isu ini seharusnya menjadi perhatian utama, namun faktanya tidak,” Uli menambahkan.
Namun, Uli pesimistis masalah lingkungan bakal masuk ke dalam program utama para Capres jika terpilih nantinya.
“Isu lingkungan persoalan yang struktural sehingga dibutuhkan komitmen dan political will secara struktural juga,” Uli menjelaskan.
“Tiga Capres ini seolah enggan bahas masalah-masalah secara struktural, salah satunya isu lingkungan,” katanya lagi.
BACA JUGA:
Hal senada juga dituturkan Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara, Hilman Afif. Ia yakin para aktor politik sudah sadar ihwal pentingnya isu agraria dan lingkungan hidup.
Afif skeptis para Capres ini memahami secara detail isu lingkungan dan perubahan iklim. Karena itulah, ia ragu mereka menjadikan isu tersebut sebagai prioritas untuk diselesaikan.
“Sebab hingga hari ini, kami tidak melihat adanya wacana atau narasi yang dibangun oleh partai politik mengenai penyelesaian isu-isu yang disebutkan. Publik selalu disuguhkan dengan fenomena manuver politik yang sama sekali tidak substantif,” ujar Afif.
Gen Z dan Milenial Peduli Lingkungan
Seperti diketahui, generasi Z dan milenial merupakan kelompok elektoral tertinggi pada Pilpres 2024. Berdasarkan hasil rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) Komisi Pemilihan Umum (KPU), mayoritas pemiliih Pemilu 2024 didominasi kelompok generasi Z dan milenial.
Sebanyak 66.622.389 atau 33,6 persen pemilih berasal dari generasi milenial. Sementara pemilih dari generasi Z sebanyak 46.800.161 pemilih atau 22,85 persen dari total DPT Pemilu 2024 yang mencapai 204.807.222 pemilih. Artinya, total pemilih dari kelompok generasi Z dan milenial mencapai 56,45 persen.
Kelompok ini merupakan kelompok pemilih yang realistis. Dan isu krisis iklim serta lingkungan termasuk yang menjadi perhatian mereka.
Hal tersebut terungkap melalui survei secara daring yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Unitrend kepada 1.245 responden dari 13 provinsi pada 31 Maret sampai 15 April 2023.
Dari hasil survei itu, diketakui bahwa responden generasi Z dan milenial dengan rentang usia 15-34 tahun paling banyak berpersepsi bahwa krisis iklim adalah hal nyata dan sudah dirasakan, sedangkan 5 persen responden usia 45-54 tahun menjawab tidak nyata.
”Ada potensi anak muda untuk mengawal proses dan kebijakan transisi energi yang dilakukan pemerintah, termasuk salah satunya JETP (Just Energy Transition Partnership) atau Transisi Energi Berkeadilan,” kata Rizki Ardinanta, peneliti Institute for Policy Development, saat peluncuran laporan survei secara daring, Jakarta, Selasa (5/9/2023).