Bagikan:

JAKARTA – Pesta demokrasi bernama pemilihan umum (Pemilu) telah berakhir. Kini, para calon legislatif DPR/DPRD (Caleg) sedang harap-harap cemas menantikan hasil penghitungan suara. Maklum, biaya nyaleg disebut tidak murah, sehingga kalau gagal berpotensi mengacaukan neraca keuangan bahkan bisa berimbas pada kesehatan mental.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ongkos untuk ikut serta dalam Pemilu tidaklah murah. Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah pernah menyinggung mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam Pemilu presiden, Pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Fahri menyebut ini menjadi “bumerang” bagi keberlangsungan sistem demokrasi dan keberadaan partai politik Indonesia.

"Hal itu melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. Karena keterpilihan mereka tidak ditentukan kualitas dan kapabilitasnya, tapi 'isi tas' atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari penyandang dana," kata Fahri, mengutip Antara (5/9/2021).

Komedian Alfiansyah Bustami alias Komeng memberikan keterangan pers saat pendaftaran Bakal Calon anggota DPD RI dari Jawa Barat di kantor KPU Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (13/5/2023). (Antara/Novrian Arbi)

Mencari cara supaya balik modal setelah mengeluarkan biaya politik yang tidak murah menjadi target pertama bagi mereka yang terpilih.

Tapi, bagaimana dengan yang kemudian gagal? Bagaimana mengatur kembali keuangan setelah habis-habisan meramaikan pesta demokrasi?

Cek Kondisi Keuangan

Anggapan bahwa biaya politik itu mahal pernah disanggah oleh pengamat politik Dedi Kurnia Syah. Ia menegaskan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak pernah menyebutkan tarif pendaftaran kontestasi.

Menurut Dedi, biaya yang tinggi hanya inisiatif dari peserta dan partai karena sejak awal mengira uang adalah sumber keterpilihan.

Bicara soal biaya politik yang murah, mungkin bisa dilihat dari beberapa selebritas Tanah Air yang nyaleg tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Komedian Alfiansyah Komeng misalnya, yang tanpa gembar-gembor ke masyarakat bahwa dirinya maju mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI dari dapil Jawa Barat.

Atau bisa juga Opie Kumis yang mengaku hanya menggelontorkan uang Rp25 juta dari hasil menjual burung kesayangannya. Pun dengan Dede Sunandar yang menjual dua unit mobilnya untuk biaya nyaleg. Opie Kumis dipinang PAN untuk maju sebagai Caleg DPRD DKI Jakarta VI, sementara Dede mencalonkan diri menjadi Caleg DPRD Kota Bekasi Dapil 5 Bekasi Barat dan Pondok Gede.

Opie Kumis saat ditemui d Kantor KPU DKI Jakarta, Jumat (12/5/2023). (Antara/Walda)

Meski ketiganya memiliki hasil berbeda, tapi memiliki kesamaan yaitu tidak sampai berutang untuk terlibat dalam kontestasi politik. Menurut perencana keuangan, sebelum maju sebagai Caleg sebaiknya yang bersangkutan harus mantap secara finansial, selain tentunya memiliki visi dan misi yang bisa menarik simpati masyarakat. Sehingga, kalaupun akhirnya gagal, keuangan Si Caleg tidak ikut babak belur.

Perencana keuangan bersertifikasi Aulia Akbar mengatakan satu hal yang perlu dilakukan ketika seseorang mengalami masalah keuangan, entah itu setelah kalah di Pemilu atau hal lainnya.

“Ketika kita mengalami masalah keuangan, entah itu karena nyaleg atau apa, mungkin kita merasa beban bertambah, keuangan berantakan, yang harus dilakukan adalah mengecek keuangan kita sendiri,” ujar Aulia.

“Apakah kita ada utang, apakah utangnya masih dalam batas yang normal. Lalu, apakah kita masih punya cash, cash masih dalam batas normal atau tidak. Apakah masih ada dana darurat. Jadi dicari dulu masalahnya ada atau tidak,” imbuhnya.

Dianggap Biaya Pengalaman

Sementara itu, Harabdu Tohar juga menjadi salah satu artis yang maju sebagai Caleg. Komedian yang lebih dikenal dengan nama Bedu ini mengaku tidak mengeluarkan fulus sampai miliaran. Baginya, uang yang dikeluarkan dianggap sebagai biaya untuk membeli pengalamannya nyemplung di dunia politik, sehingga kalaupun gagal melenggang ke Senayan, Bedu tidak merasa kecewa. Apalagi menurutnya ada keterkaitan antara kondisi keuangan dengan kesehatan mental.

“Cek dulu kesehatan keuangan dan kesehatan mental. Jika kesehatan uang aman, mental juga terjaga. Kalau gagal lolos dan uang tidak sehat, kesehatan mental juga terganggu,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan Opie Kumis. Ia tidak pernah menyesali keputusannya terjun ke dunia politik walau akhirnya gagal.

Komedian Dede Sunandar bersama pendiri Perindo, Hary Tanoesoedibjo. (Instagram/@dede_sunandar)

“Dalam pesta demokrasi tidak pernah berpikiran menang atau kalah yang penting sudah ikut sumbangsih dalam pesta demokrasi, kenal dengan masyarakat. Jadi dalam pesta demokrasi menang atau kalah itu hal biasa. Gak pernah ada penyesalan atau kecewa,” ucap Opie Kumis.

Dari mereka kita belajar, bahwa meramaikan pesta demokrasi tidak melulu berbiaya mewah. Dan perlu dicatat, pentingnya meluruskan niat bahwa ikut dalam kontestasi politik bukanlah sekadar perjalanan karier melainkan sebuah pengabdian. Sehingga, dibutuhkan financial freedom atau kebebasan finansial terlebih dulu sebelum nyaleg.