Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan pernyataan menarik saat menghadiri ulang tahun ke-60 Partai Golkar. Ia mengajak pimpinan partai politik yang hadir untuk memperbaiki sistem politik yang menghabiskan puluhan triliun setiap penyelenggaraan pemilu.
"Saya lihat, negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, ya sudah, DPRD itu yang milih gubernur, bupati. Efisien, nggak keluar duit terus seperti kita," ujar Presiden. Ia menegaskan, uang tersebut lebih baik digunakan untuk memperbaiki fasilitas publik seperti sekolah dan irigasi.
Pernyataan ini langsung memicu perdebatan panas di ruang publik, mengusik satu pertanyaan mendasar: Apakah demokrasi kita mundur?
Pilkada serentak 2024 disebut menghabiskan anggaran Rp37,4 triliun. Bisa jadi, angka ini menjadi dasar bagi Prabowo menawarkan gagasan pilkada melalui DPRD. Namun, kritik tajam muncul. Efisiensi anggaran tidak seharusnya mengorbankan esensi demokrasi.
Pilkada langsung memberikan rakyat hak untuk memilih pemimpinnya. Sejak reformasi, kepala daerah mulai dari gubernur hingga wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Mengembalikan pemilihan kepada DPRD dianggap sebagai langkah mundur menuju sentralisasi ala Orde Baru.
Pendukung gagasan ini, seperti PAN dan PKB, berargumen bahwa pilkada melalui DPRD bisa mengurangi politik uang. Menteri Hukum bahkan menyatakan ide ini sudah dibahas sejak era Presiden Jokowi. Namun, kritik tetap kuat: apakah sistem ini benar-benar efisien tanpa mengorbankan legitimasi?
Seorang teman memberikan ilustrasi menarik. Ia menghitung, jika Gubernur DKI Jakarta dipilih oleh DPRD pada 2024, Ridwan Kamil mungkin mendapatkan 91 suara, sementara Pramono hanya 15 suara. Sebaliknya, dalam pilkada langsung, Pramono berpotensi memenangkan 50,07% suara rakyat, sedangkan Ridwan Kamil hanya meraih sekitar 39%. Ilustrasi ini bisa benar, bisa juga kurang tepat tapi menunjukkan bagaimana legitimasi rakyat bisa terabaikan dalam pemilihan melalui DPRD.
Wacana ini tampaknya lebih menguntungkan elite politik. DPRD, sebagai aktor utama, menjadi pintu masuk kekuasaan yang dikuasai partai politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah hak rakyat sedang diambil?
Kita perlu merenungkan sistem politik kita. Demokrasi memang mahal, tetapi tidak berarti harus mengorbankan kedaulatan rakyat. Ada solusi yang bisa dipertimbangkan, seperti memperbaiki sistem pilkada langsung dengan pengawasan ketat dan pengurangan biaya kampanye.
BACA JUGA:
Kampanye digital, misalnya, dapat menjadi alternatif murah dan efektif. Selain itu, penegakan hukum terhadap politik uang harus diperkuat. Dengan langkah ini, demokrasi tidak hanya lebih efisien, tetapi juga berkualitas.
Wacana pilkada melalui DPRD adalah pertarungan ideologis tentang masa depan demokrasi Indonesia. Apakah demokrasi akan tetap menjadi alat rakyat atau kembali menjadi alat elite? Pilkada langsung, meski memiliki kekurangan, adalah bukti kedaulatan rakyat.
Presiden Prabowo Subianto mungkin berniat baik. Namun, niat baik saja tidak cukup. Keberanian memperbaiki sistem tanpa mengorbankan prinsip demokrasi adalah yang kita butuhkan. Demokrasi sejatinya bukan soal murah atau mahal, melainkan soal siapa yang berkuasa: rakyat atau elite.
Dalam sejarah bangsa ini, rakyat selalu menjadi aktor utama perubahan. Jangan biarkan mereka kembali menjadi penonton. Jika demokrasi adalah panggung, maka rakyat adalah pemerannya. Jangan ambil hak mereka. Sebab, tanpa rakyat, demokrasi hanyalah nama tanpa makna.