Bagikan:

JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menilai ide Presiden Prabowo Subianto soal pemilihan kepala daerah meliputi gubernur, bupati dan walikota kembali dipilih DPRD sudah tak lagi relevan.

Menurutnya, usulan yang terlontar dalam pidato di puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar itu tidak seharusnya muncul. Apalagi argumen tentang lebih efisien dan tak menelan banyak biaya sudah usang.

Pasalnya, biaya pesta demokrasi yang mahal ini sudah diketahui masyarakat sejak anak bangsa memilih sistem politik secara langsung.

"Kalau memang mau efisien dan cost rendah, sistem otoriter tentu paling tepat. Presiden tinggal menunjuk saja siapa yang akan jadi gubernur, bupati, dan wali kota sesuai seleranya," ujar Jamiluddin, Jumat, 13 Desember.

"Hanya saja, Indonesia tak boleh menerapkan sistem otoriter. Konstitusi kita sudah dengan tegas mengingatkan semua anak bangsa, Indonesia menganut sistem demokrasi," sambungnya.

Karena itu, lanjut Jamiluddin, siapa pun pemimpin negeri ini, harus menjalankan sistem demokrasi. Sistem itu juga harus dijadikan acuan dalam menetapkan sistem pemilihan kepala daerah.

Menurutnya, pemilihan kepala daerah secara langsung sudah sejalan dengan amanat konstitusi. Jamiluddin menilai, Presiden tidak perlu mencari-cari argumentasi untuk menganulir pilkada secara langsung dan kembali melalui DPRD.

"Kalau dianggap terlalu mahal, justru harus dicarikan solusi untuk mengatasinya. Bukan dengan mengubah sistem yang sudah diatur dalam perundang-undangan," katanya.

Jamiluddin menyarankan, agar sebaiknya Presiden Prabowo menghentikan wacana pilkada melalui DPRD.

"Wacana seperti ini hanya membuat bangsa ini mundur ke masa kegelapan. Para reformis tentu tak menghendaki hal itu terjadi," pungkasnya.