Kepatuhan Buta Richard Eliezer Terhadap Ferdy Sambo, Ditilik dari Teori Psikologi Stanley Milgram
Richard Eliezer ketika menjalani proses rekonstruksi pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 30 Agustus 2022. (Dok. Polri)

Bagikan:

JAKARTA - Teori Stanley Milgram, menurut Reza Indragiri Amriel, bisa memberikan gambaran untuk lebih memahami perilaku terdakwa Richard Eliezer dalam kasus pembunuhan Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat), terutama mengenai penyebab tindakannya menembak Yosua.

Stanley Milgram adalah profesor psikologi dari Universitas Yale, Amerika Serikat. Beberapa puluh tahun lalu, Milgram melakukan penelitian mengenai kepatuhan. Dia ingin mengetahui sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang ketika mendapat perintah untuk melakukan perbuatan jahat terhadap orang lain.  

Sebelum penelitian, kata Reza, Milgram terlebih dahulu melakukan survei terhadap puluhan profesional. Pertanyaannya satu: Wahai saudara, apabila saudara diminta atau diperintah melakukan sesuatu perbuatan buruk, apakah saudara akan patuh, mengiyakan atau menentang?

Ternyata, hasilnya berbeda dengan realitas ketika itu. Mereka sangat percaya diri sanggup menolak perintah jahat, perintah yang mungkin menyakiti atau merugikan pihak lain. Berdasar ketidaksesuaian inilah, Milgram kemudian melakukan penelitian.

“Ada beberapa unsur yang ditemukan Milgram. Sangat penting untuk kita cermati dan barangkali saya tandaskan, mungkin bisa membantu majelis dalam memahami seberapa jauh temuan Milgram relevan dalam situasi interaksi antara Richard dan Ferdy Sambo,” ungkapnya.

Terdakwa Richard Eliezer mengaku telah menembak Brigadir J atas perintah dari Ferdy Sambo (Antara/Muhammad Adimaja).

Reza Indragiri Amriel adalah saksi ahli yang dihadirkan penasihat hukum terdakwa Richard Eliezer dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Yosua di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Desember 2022. Dia adalah anggota Pusat Kajian Assesment Permasyarakatan Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM sekaligus ahli psikologi forensik.

Temuan pertama dari penelitian Milgram, kata Reza, kepatuhan seseorang melakukan perbuatan jahat ditentukan oleh siapa pemberi instruksi. Apakah sosok itu punya otoritas atau tidak.

Kedua, kepatuhan seseorang terhadap perintah atau instruksi ditentukan pula oleh busana apa yang dipakai oleh si pemberi perintah.

“Dalam kondisi tertentu, pemberi perintah mengenakan kostum peneliti berwarna putih, tapi pada situasi lain mengenakan kostum hanya berwarna putih saja. Ternyata ada perbedaan tingkat kepatuhan. Subjek penelitian memiliki tingkat kepatuhan lebih tinggi ketika pemberi perintah mengenakan kostum sebagai peneliti,” ucap Reza.

Ketiga, kepatuhan seseorang dipengaruhi pula oleh tempat ketika perintah diberikan. Bila perintah diberikan dalam lingkungan yang otoritatif, tingkat kepatuhan juga akan lebih tinggi.

Keempat, tingkat kepatuhan seseorang terhadap perintah akan lebih tinggi jika perintah diberikan dengan cara tatap muka dalam satu ruangan.

Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik dan anggota Pusat Kajian Assesment Permasyarakatan Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, saksi ahli dalam sidang lanjutan pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa Richard Eliezer. (Antara/Hanif Nashrullah)

Kelima, terkait dengan penyampaian verbal pemberi perintah terhadap si penerima perintah.

“Kesimpulan temuan tersebut mematahkan asumsi awal. Sekian banyak profesional dalam survei kita asumsikan mereka cerdas, matang, memiliki jam terbang tinggi dalam bidangnya masing-masing. Tapi, ketika dibawa ke dalam penelitian eksperimental ternyata lain pula kesimpulannya,” Reza menjelaskan.

Hasil penelitian Milgram telah diterapkan ke dalam banyak kasus, termasuk dalam kasus penegakan hukum. Sesungguhnya manusia rentan menerima perintah, termasuk perintah yang salah.

“Betapa pun organisasi sudah membuat ketentuan dan peraturan bahwa personel tidak boleh mengikuti perintah yang salah, tapi penelitian tersebut menunjukkan bahwa kerapuhan manusia untuk melaksanakan perintah yang salah sekalipun adalah sesungguhnya sangat tinggi,” imbuh Reza.

Perintah Menembak

Dalam persidangan 30 November lalu, Richard mengaku mendapat perintah dari Ferdy Sambo untuk menembak Yosua ketika berada di rumah Jl. Saguling pada 8 Juli 2022. Tepatnya, tak lama setelah tiba dari Magelang.

Menurut Richard, Ferdy Sambo marah karena Yosua telah menghinanya.

“Memang kurang ajar. Sudah enggak menghargai saya, dia sudah menghina harkat dan martabat saya. Dia bicara sambil emosi, nangis, mukanya merah. Memang harus dikasih mati anak itu,” tutur Richard menirukan perkataan Ferdy Sambo.

Kemudian, Ferdy Sambo memerintahkannya, “Nanti kau tembak Yosua ya, karena kalau kau yang tembak, saya yang akan jaga kamu. Kalau saya yang tembak, tidak ada yang jaga kita.”

Richard tak kuasa menolak, “Saya takut. Ini jenderal bintang dua, menjabat sebagai Kadiv Propam dan posisi saya hanya berpangkat Bharada, pangkat terendah kepolisian. Dari kepangkatan itu saja kita bisa lihat bagaikan langit dan bumi.”

Ferdy Sambo saat hendak mengikuti rekonstruksi pembunuhan Brigadir J di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 30 Agustus 2022. (VOI/Rizky Adytia Pramana)

Ferdy Sambo terus meyakinkan Richard semua akan tetap aman.

“Jadi gini Chad skenarionya di Duren Tiga, kami menyebutnya 46, Ibu dilecehkan Yosua, baru ibu teriak, kamu dengar, kamu respon, baru ketahuan. Yosua tembak kamu, kamu tembak balik. Yosua yang mati,” Richard kembali menirukan perkataan Sambo.

“Sudah kamu tenang saja, kamu aman karena posisinya kamu bela ibu yang pertama, kedua kamu bela diri, karena kamu ditembak duluan,” tambah Richard sembari menjelaskan posisi Putri Candrawathi yang berada di sebelah Ferdy Sambo.