Belajar dari Kasus Penculikan Malika: Orangtua Harus Memahami Fase Perkembangan Anak
Malika (digendong) saat hendak diperiksa di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur pada 3 Januari 2023 setelah ditemukan sejak diculik pada 7 Desember 2022. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Kasus penculikan anak Malika Anastasya (6) mungkin bisa menjadi renungan para orangtua untuk lebih memahami fase perkembangan anak. Mengajarkan anak kemampuan bersosialisasi memang sangat penting untuk mengembangkan kesehatan mental, fisik, dan emosionalnya.

Namun, orangtua juga tetap tak boleh lengah. Pengawasan harus terus dilakukan karena fase awal masa kanak-kanak antara usia 2-6 tahun, menurut Maryam B. Gainau dalam buku ‘Psikologi Anak’ merupakan fase rentan.

“Mulai rentan terjadi bahaya fisik (penyakit atau kecelakaan) maupun bahaya psikologis (pengaruh sosial dari lingkungan sekitar),” kata Maryam.

Anak pada usia tersebut cenderung lebih berani dan senang mencoba hal-hal baru. Mulai belajar melakukan hubungan sosial dan bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan rumah. Mereka belajar menyesuaikan diri dan bekerja sama dalam kegiatan bermain. Mengulang-ulang suatu kegiatan, tindakan, atau ucapan.

Begitu pula pada fase akhir kanak-kanak dalam rentang usia 6-12 tahun. Maryam menyebutnya, “Fase tidak rapi, masa menyulitkan atau masa bertengkar.”

Saat diculik pada 7 Desember 2022, Malika mengenakan pakaian motif kembang berwarna biru muda. Polisi menemukannya pada 2 Januari 2023, masih mengenakan pakaian yang sama. (VOI/Rizky Sulistio)

Anak berusia sekitar 6-12 tahun, menurut psikolog anak Muh. Daud, lazimnya memang memperlihatkan penyesuaian diri yang luar biasa terhadap lingkungan sosialnya yang selalu berubah.

“Anak mulai berpikir secara deduktif dan mulai tertarik dengan apa saja yang menyenangkan dan memberinya kesibukan,” kata Muh. Daud dalam ‘Buku Ajar Psikologi Perkembangan Anak’.

Sehingga wajar bila anak mudah mengikuti bujuk rayu. Terlebih, bujuk rayu yang mengarah ke hal-hal menyenangkan baginya.

Seperti ketika penculikan anak Malika terjadi pada 7 Desember 2022. Malika menuruti kemauan pelaku yang mengajaknya membeli ayam goreng tepung. Tidak ada penolakan karena pelaku memang bukan sosok yang terlalu asing baginya. Sudah beberapa kali pelaku singgah ke warung milik orangtua Malika di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Itu adalah bentuk penyesuaian diri yang dilakukan Malika terhadap lingkungan dan orang-orang sekitarnya.

Ternyata, setelah membeli ayam goreng, pelaku tidak kembali ke warung, melainkan mengajak Malika naik bajaj dan menghilang. Hingga pada 2 Januari 2023, polisi menemukan pelaku dan Malika di daerah Ciledug. Pelaku yang merupakan residivis kasus pencabulan anak ini mengajak Malika mulung dan hidup di gerobak.

Beri Batasan kepada Anak

Menurut Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti, orangtua harus berperan penting untuk memberi batasan-batasan terhadap anak-anaknya. Tegas dalam menanamkan nilai-nilai moral dan perilaku dengan mengenalkan konsep baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas kepada anak.

Pola asuh permisif dengan membebaskan anak melakukan apa saja yang ingin dilakukannya tanpa mempertanyakan, pada satu sisi, cenderung sangat berisiko terhadap anak. Tetap butuh kontrol dari orangtua.

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti memberikan tips menghindari anak menjadi korban penculikan. (Antara/Indriani)

Retno memberikan tips menghindari anak menjadi korban penculikan:

  1. Ajari anak sejak dini untuk merespons situasi yang membahayakan. Misalnya harus berteriak minta tolong kepada orang lain ketika ada orang yang memaksa untuk ikut pergi bersama.

  2. Ajari anak waspada kepada orang yang baru dikenal. Anak tidak boleh mudah percaya, apalagi saat orang tersebut membujuk atau memberikan makanan, atau sesuatu yang menarik perhatiannya. Orangtua juga harus mengajarkan kepada si anak untuk bisa menolak pemberian dari orang asing. Ini sangat penting terutama ketika tidak ada orangtua di sampingnya.

  3. Beri pengertian dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami anak tentang bahaya ikut bersama orang yang tidak dikenal.

  4. Tekankan pada anak untuk selalu berada di samping orangtua jika bepergian di tempat yang ramai. Ajarkan juga pada anak apa yang harus dilakukan bila tersesat atau terpisah dari orangtua.

    "Beritahu ke anak untuk tidak boleh pergi sendiri ke suatu tempat tanpa didampingi orangtua, kakak atau orang yang bisa dipercaya," kata Retno kepada VOI, Selasa (3/1).

  5. Ajari anak bela diri, sehingga ketika ada orang asing yang ingin memaksanya pergi, anak sudah tahu yang harus dilakukan. Misalnya dengan menggigit, menendang, atau berteriak agar anak bisa melepaskan diri dari penculik. Hal yang paling penting adalah mengajarkan anak mana area tubuhnya yang tidak boleh disentuh orang lain.

  6. Ajarkan anak untuk tidak menyendiri. Biasakan anak bermain dengan teman-temannya. Apabila jam pulang sekolah sudah tiba, ajarkan anak untuk menunggu penjemput sambil bermain dengan teman-temannya.

    "Sebagai orangtua, Anda juga jangan lupa untuk berkoordinasi dengan guru atau sekolah," tutur Retno.

  7. Biasakan anak bercerita tentang apapun yang mereka alami. Itu sebabnya, orangtua harus selalu memiliki waktu dan perhatian untuk mendengarkan apa saja yang anak alami hari ini. Orangtua perlu dan penting bekerjasama dengan sekolah atau guru dan tetangga agar bisa saling bekerjasama untuk menjaga anak-anak dari bahaya penculikan.

  8. Latih kemandirian anak. Saat berada di sekolah, bekali anak dengan melatih kemandirian secara bertahap untuk pergi dan pulang sekolah sendiri, serta ajarkan kepada anak agar mengomunikasikan kepada guru apabila ada yang berprilaku aneh di sekolah.

“Mengedukasi anak merupakan salah satu cara menghindari anak-anak kita menjadi korban penculikan,” tandas Retno Listyarti, yang juga Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).