Bagikan:

JAKARTA - Bencana gempa bumi dahsyat kerap mendera bumi Nusantara. Bahkan, sejak dahulu kala. Kondisi Nusantara yang jadi bagian dari Cincin Api Pasifik ada di baliknya. Pada gempa Batavia 1699, misalnya. Korban jiwanya berjatuhan. Sungai dan air bersih di Batavia tercemar lumpur.

Kondisi itu semakin memperparah kondisi lingkungan hidup yang telah rusak. Penyakit mematikan pun datang: malaria hingga kolera. Batavia bak terkena azab. Orang-orang pun mengenang Batavia sebagai kuburan orang Belanda.

Bumi Nusantara adalah kawasan yang dilalui jalur gunung api aktif di dunia. Gempa pun kerap mewarnai tiap peradaban hingga kerajaan di Nusantara. Memori kolektif gempa bumi banyak terpampang di dalam prasasti dan reruntuhan candi.

Ada peristiwa gempa yang memunculkan rasa waspada – utamanya gempa skala kecil. Ada pula gempa yang memunculkan tangis paling dalam: gempa dahsyat. Gempa skala besar itu kerap memuat narasi kehilangan. Dari kehilangan keluarga hingga suatu peradaban.

Kondisi sungai dan kanal di Batavia masa lampau. (Wikimedia Commons)

Salah satu perwujudan narasi kehilangan terjadi pada gempa bumi di Batavia pada 5 Januari 1699. Gempa itu meluluhlantakkan Batavia. Sebuah kota yang notabene pusat kekuasaan maskapai dagang Belanda, VOC.  Kala gempa datang, tak banyak keluarga yang bersiap menyelamatkan diri.

Kebanyakan masih berada dalam ‘selimut’ mimpi. Tak sedikit nyawa melayang. Sedang banyak rumah penduduk dari Banten hingga Batavia rusak. Kekuatan gempa itu yak main-main. Para ahli mensinyalir gempa bumi Batavia berkekuatan antara 8-9 Skala Richter. Karenanya, gempa itu menjadi salah satu gempa terbesar yang pernah terjadi di Batavia sepanjang sejarah.  

“5 Januari dini hari hujan lebat turun mengguyur Batavia. Namun, hujan berubah menjadi kepanikan karena tiba-tiba bumi berguncang dengan hebat. Guncangan terasa pada pukul 01.30 dini hari dan berlangsung selama sekitar 15 menit. Gempa bumi terasa tidak hanya di Batavia. Daerah lain seperti Banten dan pantai selatan Sumatera khususnya Lampung.”

“Guncangan gempa bumi membuat bangunan-bangunan yang ada di Batavia banyak yang retak. Menurut Arthur Wichmann, total ada 21 rumah, 20 lumbung padi, dan satu gudang yang rusak, serta 28 orang yang tewas akibat peristiwa itu. Selain membuat rumah-rumah rusak, gempa bumi juga membuat penduduk Batavia saat itu takut untuk kembali ke rumah. Mereka memilih untuk tinggal sementara di tempat terbuka dan di kapal-kapal yang mereka miliki,” ungkap Omar Mochtar dalam penelitiannya yang berjudul Gempa Bumi Batavia 1699 dan 1780: Memori Kolektif Kebencanaan (2021).

Efek Domino

Boleh jadi gempa besar di Batavia tak memakan banyak korban jiwa. Namun, efek domino dari gempa ke mana-mana. Kondisi Batavia dan kehidupan di dalamnya terusik. Batavia yang dulu dikenal berujuk sebagai Ratu dari Timur, mulai berubah wajah.

Semua karena dampak gempa bumi membuat tanah di lereng Gunung Salak longsor. Material longsor pun membawa tanah dan lumpur masuk ke Batavia. Alhasil, sungai-sungai Batavia, bahkan tanggul-tanggul jadi penuh lumpur.

Kondisi itu menyebabkan dua kondisi. Pertama, air minum warga Batavia yang mengandalkan air sungai jadi kotor. Kedua, sungai dan tanggul-tanggul penuh lumpur itu menjelma sebagai ‘rumah yang nyaman’ nyamuk berkembang biak.

Penyakit malaria dan kolera pun merajalela. Kedua penyakit itu jadi pembunuh nomor satu di Batavia. Rumah sakit penuh. Pemakaman apalagi. Mereka yang meninggal dunia mencapai 1.000-2.000 orang setiap tahun.

Gunung Salak di Bogor, ditengarai sebagai penyebab penurunan kualitas air di Batavia saat terjadi gempa bumi 1699 yang mengakibatkan lereng gunung longsor dan lumpur mengotori sungai. (Pixabay)

Kompeni pun mencoba menanggulangi permasalahan lumpur yang jadi biang keladi penyakit. Namun, seperti gali lubang tutup lubang. Upaya membersihkan lumpur tak disertai dengan keinginan menjaga lingkungan hidup. Pembukaan lahan dan pembangunan pabrik tetap diteruskan. Sekelumit masalah itu justru makin membawa petaka.  Batavia pun dikenang sebagai kuburan orang Belanda.

“Namun, di samping itu, secara umum memang maut tak pernah jauh. Pengaruh cuaca dan ketakberdayaan para dokter menyebabkan Batavia dianggap sebagai "kuburan orang Eropa". Untuk memperoleh kepastian tentang kenyataan itu, cukup bila ditengok angka kematian yang secara teratur disebutkan dalam Daghregister. “

“Keadaan semakin parah sepanjang abad ke-18, setelah gempa bumi tahun 1699 merusak jaringan air minum dan menimbun beberapa saluran pembuangan limbah. Sejak itu, tak kurang dari 1000 sampai 2000 orang meninggal setiap tahun, ketika jumlah keseluruhan penduduk kota tidak pernah lebih dari 16.000 orang,” terang sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan Jilid I (1996).