JAKARTA - Banjir di Batavia (kini: Jakarta) bak tradisi. Bahkan, sudah berlangsung sejak fase awal penjajahan Belanda. Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda kerap gagal menghalau banjir. Apalagi penanganan yang dilakukan tak pernah serius. Alias amburadul.
Mohammad Husni Thamrin mendobraknya. Ia tak ingin kampungnya diobrak-obrik bencana banjir. Retorikanya menggelegar. Ia jadi bumiputra pertama yang memaksa Belanda keluar duit banyak untuk menangani banjir. Ia pun menggagas Proyek Bandjir Kanaal untuk menyelamatkan Batavia.
Kepedulian Thamrin membawa kaum bumiputra lepas dari belenggu penjajahan tiada dua. Thamrin yang notabene jadi wakil bumiputra dalam pemerintah Belanda banyak mendukung upaya perjuang kelompok pejuang kemerdekaan lainnya. Dari Soekarno hingga Tjipto Mangoenkoesoemo.
Apa saja dikorbankan Thamrin: uang, tenaga, dan pikiran. Semuanya untuk kemerdekaan. Saban hari kaum bumiputra yang dianggap radikal ditangkap Belanda, Thamrin acap kali pasang badan. Ia pun pernah pasang badan saat Soekarno ditangkap Belanda.
Perjuangannya memberikan sokongan kepada kaum pejuang tak lantas buat Thamrin besar hati. Ia tetap melirik ke nasib kaumnya: kaum Betawi. Utamanya yang jelata. Thamrin juga memilih pasang badan supaya hajat hidup orang Betawi meningkat.
Sebelumnya, kepedulian itu terbangun karena perkenalan Thamrin dengan seorang Belanda bernama Van Der Zee. Tokoh politik sosialis yang bekerja di Gemeenteraad (Dewan kota) Batavia itu banyak membuka cakrawala berpikir Thamrin. Begitu pula sebaliknya. Berkatnya, Thamrin bersedia ikut masuk politik. Ia mencoba mengubah nasib orang Betawi dan kaum bumiputra lewat berkarier dari dalam pemerintahan Dewan Kota.
“Di dalam perkenalan kedua orang yang berbeda kebangsaannya ini, nampaknya telah terjalin dialog yang pada gilirannya membuka jalan untuk saling menyampaikan ide-ide kemasya- rakatan masing-masing. Ketika itu Muhammad Husni Thamrin memang telah menunjukkan minatnya terhadap usaha-usaha perbaikan kehidupan masyarakat Betawi. Dia telah memperhatikan keadaan masyarakat sekelilingnya yang berupa keadaan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya.”
“Perhatiannya terhadap hal-hal yang menyangkut secara langsung tentang peri kehidupan masyarakat itu tampaknya dilatarbelakangi oleh pengalaman di masa kecilnya. Yang dimaksud ialah pertemanan- nya secara intim dengan anak-anak sebayanya yang berasal dari lapisan rakyat jelata, yang jelas sangat berbeda dengan asal dari keluarga Muhammad Husni Thamrin yang anak wedana itu,” ungkap Sejarawan Anwar Gonggong dalam buku Muhammad Husni Tharin (1985).
Thamrin Tanggulangi Banjir
Narasi Thamrin membela kaum Betawi telah tersebar di mana-mana. Ia melanggengkan perbaikan kampung-kampung kumuh hingga penyediaan air bersih. Ia tak ingin orang Belanda saja yang menikmati kenyamanan hidup di Batavia. Sedang kaumnya harus hidup sengsara.
Thamrin kerap menyuarakan perbaikan hajat hidup orang Betawi dalam tiap kesempatan. Apalagi saat dirinya menguasai podium Dewan Kota. Retorikanya menggelegar. Puncaknya, petinggi Hindia-Belanda mau memuluskan langkah Thamrin untuk menanggulangi banjir Batavia.
Sebelumnya, banjir Batavia adalah permasalahan yang kerap muncul dari tahun ke tahun. Masalah itu tak kunjung selesai dari fase awal penjajahan Belanda (periode maskapai dagang Belanda VOC). Empunya kebijakan kala itu enggan menggeluarkan duit banyak untuk membangun Batavia, termasuk mengendalikan banjir.
Dampaknya ke mana-mana. Batavia jadi langganan banjir. Bencana itu membawa kerugian yang cukup besar. Belum lagi, banjir acap kali mendatangkan wabah penyakit. Sederet masalah banjir pun coba ditanggulangi. Hasilnya bisa ditebak. Ujungnya selalu kegagalan.
Kegagalan di masa-masa sebelumnya tak ingin dilanjutkan oleh Thamrin. Ia berlaga bak juru selamat. Retorika terkait pentingnya melanggengkan proyek pengendali banjir mengemuka dalam rapat penting Dewan Kota. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda pun dipaksa keluar duit banyak.
Thamrin dapat lampu hijau. Kesempatan itu tak disia-siakan olehnya. Thamrin mengajar arsitek bidang pengairan kenamaan Hindia-Belanda, Herman van Breen. Keduanya lalu merintis strategi dan upaya penganggulangan banjir pada 1919.
Bandjir Kanaal namanya. Kini dikenang sebagai Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Upaya itu berhasil. Batavia untuk sementara waktu mampu terbebas dari banjir. Sebelum akhirnya Belanda tak lagi meneruskan proyek yang digagas oleh Thamrin dan Van Breen. Banjir pun kembali.
Karenanya, tiada orang yang serius menanggulangi banjir di Batavia, selain Thamrin. Bahkan, hingga hari ini. Tiada pemimpin yang benar-benar meluangkan waktunya untuk berpikir menanggulangi banjir Jakarta secara serius dan tepat guna.
“Thamrin juga menyampaikan keluhan mengenai buruknya penerangan jalan di daerah kampung. seorang penulis Indonesia mencatat tentang pertemuan antara Van der Zee dengan Thamrin, di mana ia mengemukakan tentang gagasan pembangunan suatu kanal besar untuk mengatasi banjir. Pembangunan semacam itu harus menghubungkan Sungai Ciliwung dengan Sungai Krukut untuk mengatasi banjir secara yang secara periodik terjadi pada bagian rendah di pinggir Jakarta.”
“Selanjutnya Thamrin menyarankan Van der Zee untuk meminta perhatian dewan. Penulis yang sama kemudian menambahkan bahwa pada beberapa kali pertemuan yang berlangsung kemudian dengan Van der Zee dan Herman van Breen disepakati pembangunan kanal besar yang dikenal dengan nama Bandjir Kanaal, di pinggir Batavia. Van Breen yang penah menjadi wali kota sementara ibu kota pada 1920, pada 1911-1921 mendapat tugas membangun fasilitas pengontrol banjir di dalam kota maupun di sekitarnya,”ungkap Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin (2003).