Bagikan:

JAKARTA - Hari Ulang tahun (HUT) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kerap disambut dengan gegap gempita. Segenap rakyat Indonesia ikut merayakannya. Mereka bertandang ke lapangan terdekat pengingatan HUT ABRI.

Kemegahan jadi ciri khasnya. Parade militer dipertontonkan. Dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), hingga Angkatan Udara (AU). Namun, kemeriahan tak terlihat pada HUT ABRI ke-38, 5 Oktober 1983. Perayaan itu sederhana sekali. Tamu yang datang cuma dapat sepotong kue dan air.

Sumbangsih ABRI (Kini: TNI) bagi bangsa dan negara tiada dunia. ABRI awalnya diperuntukan untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Mereka berada digarda terdepan untuk melanggengkan kemerdekaan dengan angkat senjata.

Nyatanya, stategi angkat senjata dan diplomasi mampu mengantarkan kemerdekaan yang paripurna bagi Indonesia. Jasa-jasa ABRI dalam menegakkan kemerdekaan pun dikenang hingga hari ini. Sebab, ABRI tak lain adalah bagian dari rakyat Indonesia: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Kolonel Rudini memimpin parade dalam HUT ABRI ke-31 pada 5 Oktober 1976. (Wikimedia Commons)

Narasi heroisme ABRI diceritakan kembali tiap tahun. Momentum itu adalah HUT ABRI. Saban tahun perayaan HUT ABRI dikenal begitu megah dan meriah. Bahkan, dari zaman Bung Karno. Apalagi peringatan itu kerap dihadiri oleh orang nomor satu Indonesia. Parade militer dipertontonkan. Dari AD, AL, dan AU dengan parade andalannya: atraksi pesawat tempur.

Namun, ABRI sendiri kerap menyebutnya HUT mereka sebagai perayaan yang sederhana. Pandangan kesederhanaan (padahal mewah) banyak terpambang dalam media massa yang berafiliasi dengan ABRI. Majalah Dharmasena keluaran 1976, misalnya. Laporan majalah itu menyebut perayaan HUT TNI ke-31 yang berlangsung di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta sederhana. Namun, isinya menampakkan segi mewah dan megahnya acara.     

“Kemeriahan nampak dari hadirnya ratusan ribu rakyat dari seluruh pelosok Jakarta yang ingin menyaksikan ABRI kebanggaannya dari dekat, meskipun untuk itu tidak ada paksaan, tidak ada pengiringan dan pengangkutan seperti rapat-rapat umum partai di masa silam, tetapi mereka datang sendiri. Dari kehadiran mereka di sini saja sudah terlihat bahwa sebenarnya ABRI dicintai rakyat, disayangi rakyat karena asalnya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”

“Kebanggaan rakyat ini makin membesar setelah melihat peralatan yang dimiliki ABRI sekarang dipampangkan dengan baik dalam parade maupun defile. Panser-panser amphibi milik kesatuan marinir, tank-tank milik bataliyon Kavaleri/KODAM V Jaya dan meriam-meriam anti pesawat udara milik Satuan Artileri cukup meyakinkan mereka bahwa ABRI kini cukup tangguh menghadapi segala kemungkinan. Apalagi setelah melihat pesawat-pesawat yang berlintasan di udara seperti OV-10 Bronco yang baru tiba, Fokker F-27 yang juga baru datang B 86/Sabre, T-33 Bird dan lain-lain,” tertulis dalam laporan Majalah Dharmasena berjudul Ulang Tahun ABRI ke-XXXI Diperingati Sederhana (1976).

HUT ABRI Sederhana

HUT ABRI memang kerap menonjolkan kemegahan. Namun, bukan berarti HUT ABRI tak pernah digelar sederhana. HUT ABRI pernah tercatat digelar sederhana pada HUT ABRI Ke-20 pada 5 Oktober 1965. Atau selepas Gerakan 30 September (G30S). Suasana berduka membuat HUT ABRI ke-20 diselenggarakan secara sederhana.

Sisanya, HUT ABRI yang sederhana pernah diselenggarakan pada 5 Oktober 1983 di Lapangan Parkir Timur Senayan. Kala itu, Indonesia terkena resesi. Ekonomi Indonesia berada dalam level mengkhawatirkan. Panglima ABRI, Benny Moerdani pun menggelar HUT yang cukup sederhana.

Mereka tak ingin bermewah-mewah di atas penderitaan rakyat. Tiada pesawat jet yang menderu. Tiada aksi demonstrasi batalyon, dan tiada hidangan makanan yang melimpah. Empunya kuasa hanya menyediakan sepotong kue dan air saja untuk para hadirin dan tamu undangan.

Tamu-tamu yang hadir dalam perayaan HUT ABRI. (Wikimedia Commons)

Perayaan itu dilakukan dengan efisien. Sekalipun Presiden Indonesia, Soeharto hadir. Orang nomor satu Indonesia mengungkap kesederhanaan tak jadi masalah. sebab, yang utama adalah ABRI dapat mengabdi kepada rakyat, bangsa, dan negara.   

“Tidak ada demonstrasi kegiatan operasional atau kemahiran militer itu telah dipertimbangkan jauh-jauh hari. Panglima ABRI Jenderal  L. Benny Moerdani memang menghendakinya. Kesederhanaan ini bukanlah berarti berkurangnya penghormatan dan penghargaan kita terhadap Hari ABRI kebanggaan kita itu, kata Jenderal Benny pada pidatonya di TVRI.”

“Alasan kesederhanaan ini menurut Pangab adalah keprihatinan yang mendalam akan keselamatan kesinambungan pembangunan nasional yang sedang dihambat kesulitan akibat resesi dunia. Namun, tak berarti ABRI, di bawah Jenderal Benny, adalah ABRI masa resesi. Di balik itu semua, Jenderal Benny agaknya memanfaatkan Hari ABRI itu sebagai titik awal dan suatu kebijaksanaan baru: bagaimana menyusun suatu ABRI yang cocok untuk Indonesia kini dan di masa depan yang nampak,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Penghematan, Tanpa Panggung (1983).