JAKARTA - Rivalitas antar kelompok suporter garis keras kerap mewarnai dinamika sepak bola dunia. Kehadirannya membawa dua narasi: untung dan buntung. Keuntungannya berupa suntikan dana dan semangat. Kerugiannya mereka melanggengkan fanatisme buta.
Kerusuhan pun terjadi. Di situlah, pihak kepolisian ikut campur. Alih-alih dapat menyelesaikan masalah, kehadiran polisi sering memperkeruh masalah. Kekerasan polisi terhadap suporter jadi buktinya. Suporter yang geram pun menyuarakan: All Cops Are Bastards (A.C.A.B).
Bukan rahasia umum bila mana fanatisme buta dalam dunia sepak bola berbahaya. Bahkan, dapat mengundang maut. Semua akan dilakukan demi klub kesayangannya. Fanatisme itu tak hanya diamini oleh individu, tapi juga kelompok suporter. Tragedi Heysel, misalnya. Tragedi itu bermula dari Liverpool (Inggris) berjumpa Juventus (Italia) di final Piala Champions Eropa pada 29 Mei 1985.
Stadion Heysel, Belgia didaulat jadi tempat berlaga. Masing-masing kelompok suporter dari kedua kesebelasan tak menyia-nyiakan kesempatan untuk nonton langsung di Stadion Heysel. Tensi panas mengiringi kedua kelompok suporter. Aksi lempar-lemparan botol jadi menu pembuka. Kemudian, para suporter beringas. Perkelahian tak terhindarkan.
Di dalam lapangan kelompok suporter Juventus dan Liverpool bertemu. Polisi yang bertindak sebagai petugas keamanan coba meredakan amarah suporter. Mereka terdesak. Alih-alih menenangkan, polisi justru tampil beringas. Banyak di antara fans Liverpool dan Juventus yang dihajar secara brutal oleh polisi. Gas air mata, suara tembakan polisi, dan pukulan adalah yang paling dominan terlihat.
Alhasil, perkelahian itu memakan korban jiwa: 39 orang meninggal dunia dan 600 lainnya luka-luka. Narasi yang sama juga muncul di Argentina. Kala itu River Plate menjamu Belgrano berakhir dengan hasil imbang 1-1, setelah sebelumnya kalah 0-2. Fans River Plate tak kuasa menahan kesedihan klub kesayangannya terdegradasi ke Divisi B pada musim kompetisi 2010-2011.
Kerusuhan pun pecah. Kelompok suporter dari River Plate harus menghadapi polisi huru-hara. Polisi menghajar suporter secara membabi buta. Yang mana, peristiwa itu menimbulkan korban jiwa. Satu orang suporter tewas, 55 orang suporter, dan 35 polisi terluka serius.
“Penggunaan mobil water cannon, peluru karet, dan gas air mata ternyata gagal meredam amukan suporter di dalam Stadion El-Monumental -- kandang River. Malahan, titik bentrokan yang semula hanya di sekitar stadion meluas ke semua penjuru distrik Nunez dan Belgrano. Raungan ambulans dan mobil polisi bergantian terdengar di mana-mana. Asap hitam membumbung tinggi di beberapa pusat bisnis dan perbelanjaan akibat tong sampah, kendaraan, dan toko-toko yang dibakar serta dijarah suporter.”
“Ringkikan pasukan polisi berkuda dan bunyi suara beberapa helikopter di atas langit Buenos Aires yang hilir mudik mencari perusuh, membuat daerah utara kota, yang dikenal sebagai tempat elite itu menjadi seolah-olah tempat perang,” ungkap Aqwam F. Hanifan dalam buku Brazillian Football and Their Enemies (2014).
Dipelopori Band Punk Inggris
Kekerasan polisi dalam dunia sepak bola bukan barang baru. Kejadian di Belgia dan Argentina jadi bukti pihak aparat keamanan yang harusnya menjadi juru selamat, berubah bak dewa kematian. Kelompok suporter di dunia pun menganggap musuh bebuyutan mereka yang utama adalah polisi.
Kebencian kaum suporter akan polisi diwujudkan dengan satu narasi. Sebuah narasi yang kerap mewakili hajat kebencian masyarakat umum kepada polisi sejak berpuluh tahun lalu. Pesan itu adalah All Cops Are Bastards (A.C.A.B). Artinya, semua polisi adalah bajingan.
Saban hari kerusuhan terjadi dan polisi bertindak sebagai keamanan, niscaya pesan A.C.A.B tersebar dimana-mana lewat ragam medium. Dari poster hingga coretan tembok. Termasuk dalam Tragedi Heysel dan kerusuhan fans River Plate.
Bagi mereka, kekerasan dan polisi adalah dua kata yang tak dapat dipisahkan. Kekerasan itu banyak membuat suporter bola memendam dendam kesumat kepada polisi. Sebab, musuh kelompok suporter tak melulu kelompok suporter lainnya. Musuh bebeyutan suporter yang abadi, konon adalah polisi. Dan slogan A.C.A.B mewakili kebencian mereka terhadap polisi.
“Slogan All Cops Are Bastards kemudian mulai booming setelah pada medio tahun 1980-an, band punk Inggris, The 4-Skins, membuat sebuah lagu dengan judul yang sama. Hingga saat ini, belum ada penelitian resmi terkait sejarah awal mula kemunculan slogan A.C.A.B. Pun demikian, dalam konteks situasi politik saat ini, slogan A.C.A.B tak lagi hanya dimiliki oleh barisan ultras (suporter fanatik) yang berhaluan kiri. Para suporter sayap kanan pun juga turut mendengungkan semangat All Cops Are Bastards.”
“Bahkan, kelompok suporter yang berbasiskan agama pun-seperti Super Jews, kelompok ultras Ajax Amsterdam-juga turut menyuarakan semangat A.C.A.B. Pada 7 Januari 2011, tiga suporter Ajax didenda karena memakai t-shirt bertuliskan angka 1312, yang tak lain merupakan kode lain dari A.C.A.B. Di Italia, makna A.C.A.B bahkan menjadi kode etik tersendiri yang dikenal dengan istilah UItras Codex. Salah satu fungsi kode etik itu mengatur pertempuran antar ultras tersebut agar dapat berlangsung lebih fair dan berbudaya,” terang Edward S. Kennedy dalam buku Sepak Bola Seribu Tafsir (2014).