JAKARTA - Kehadiran kelompok suporter dalam sepak bola Indonesia penuh dinamika. Satu sisi, mereka dapat menjelma laksana ‘imun’ bagi klub kesayangannya. Sisi lainnya, fanatisme buta kerap mencoreng sepak bola Indonesia dengan noda hitam.
Mereka bersedia melakukan apa saja untuk mendukung klub kesayangannya. Kekerasan apalagi. Tragedi meninggalnya Erik Setiawan, misalnya. Pria berusia 17 tahun itu jadi korban dari rivalitas abadi kelompok suporter Bonek (Persebaya) dan Aremania (Arema FC).
Tiada yang menampik olahraga sepak bola dapat merekatkan persatuan dan persahabatan. Apalagi jika ditarik sedari masa lampau. Pengaruh sepak bola laksana alat perjuangan. Artinya, sepak bola bukan sekedar olahraga, tetapi menjadi suatu identitas sosial bagi seluruh pendukungnya.
Ragam kelompok suporter pun muncul. Nuansa positif mengiringi pendiriannya. Klub bola butuh suntikan imun ‘pemain ke-12’ di lapangan. Namun, keburukan juga menyertai kehadiran kelompok suporter. Fanatisme buta namanya.
Fanatisme itu tak jarang menghasilkan rivalitas. Narasi itu terlihat jelas dalam rivalitas antara kelompok Suporter Persebaya Bonek dan Arema Malang (kini: Arema FC) dengan Aremania. Fanatisme buta itu acap kali meminta tumbal. Tragedi meninggalnya Erik Setiawan pada 7 Maret 2013, misalnya. Permusuhan yang mengakar di antara kedua kelompok suporter jadi muasalnya.
Bonek Mania asal Gresik itu tak menduga niatannya menonton pertandingan antara Arema Indonesia (Kini: Arema FC) melawan Persegres Gresik ke Stadion Petrokimia Gresik berujung maut. Ia pun mengenakan atribut Bonek Mania sebagai identitas. Ide itu nyatanya cukup buruk. Erik Setiawan justru jadi sarana pelampiasan rombongan Aremania yang kebetulan datang dengan 17 bus.
Ratusan Aremania mengejar Erik dan tiga orang Bonek Mania lainnya. Mereka berpapasan langsung di pintu keluar tol Bunder, Gresik. Kondisi Bonek Mania itu kritis dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Namun, dalam perawatan itu, Erik Setiawan harus merenggang nyawa. Sisanya harus menjalankan perawan intensif. Padahal, rivalitas antara Bonek dan Aremania tak lebih dari sekedar urusan gengsi. Sama-sama ingin merebut posisi nomor satu di Jawa Timur.
“Sedangkan untuk penyebab sampingannya adalah perbedaan porsi pemberitaan di media massa saat itu, di mana pemberitaan tentang klub-klub sepak bola beserta kelompok suporter yang berasal dari Surabaya lebih banyak daripada klub-klub serta suporter sepak bola asal Malang. Selain itu, ada juga karena rasa gengsi.”
“Gengsi karena status daerah nomer satu dan nomer dua di Jawa Timur. Kemudian iri dan cemburu karena pengakuan dan anggapan masyarakat umum bahwa klub asal Surabaya lebih hebat daripada klub asal Malang. Tidak berhenti sampai disitu saja, penyebab lainnya adalah rasa primordialisme,” terang Galuh Saputro dalam Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan Volume 1 No. 4 berjudul Pandangan Bonek: Tentang Konflik Antara Bonek dan Aremania (2016).
Bonek Bawa Dendam
Kabar terkait pengeroyokan dan tewasnya Erik Setiawan tersebar di antara kelompok suporter. Bahkan, hingga Bonek yang berada di luar Surabaya. Bak nyala api, Bonek terbakar amarah. Mereka pun ingin melanggengkan balas dendam. Apalagi belakangan Aremania sering melempari kendaraan milik Bonek ketika mereka melawat ke Malang.
Di hari yang sama, Bonek memilih turun ke jalan. Mereka mengincar Aremania yang melewati Tol. Bonek mengepung tol, terutama di KM 5 dan 6. Tak hanya itu, Bonek juga melakukan penyisiran kendaraan plat N yang notabene tanda kendaraan asal Malang.
Aksi balas dendam itu coba dihadang oleh polisi. Pihak kepolisian sempat menutup akses jalan tol. Empunya kuasa itu kemudian melarang seluruh kendaraan melintasi tol arah Mojokerto dan Malang. Kericuhan akibat ulah bonek melebar ke mana-mana.
Bonek tak melulu mengicar Aremania saja. Target mereka bertambah. Polisi jadi musuh bebuyutan baru Bonek. Aksi perlawanan terhadap polisi dilakukan karena polisi dianggap terlalu represif terhadap mereka. Apalagi dengan tembakan gas air mata tanpa henti. Kerugian atas peristiwa itu cukup besar. Fasilitas umum banyak yang rusak. Utamanya rambu-rambu dan pembatas jalan tol.
“Ulah suporter Bonek dan Aremania kembali memakan korban. Eric Setiawan meninggal akibat salah mengenakan atribut Bonek saat menonton pertandingan Arema Indonesia versus Persegres Gresik di Gresik, Kamis dua pekan lalu. Eric diduga menjadi korban salah sasaran kebrutalan massa beratribut Aremania.”
“Insiden ini memicu kemarahan Bonek. Mereka menghadang Aremania saat hendak pulang ke Malang. Akibatnya, aktivitas di jalan tol Mojokerto-Malang macet total hingga Jumat pagi dua pekan lalu. Ratusan aparat kepolisian kerepotan mencegah aksi brutal anggota Bonek,” tandas Agita Sukma Listiyanti dan Kukuh S. Wibowo dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Puasa Bola di Surabaya (2013).