Bagikan:

JAKARTA - Permusuhan antarsuporter klub kerap tidak jelas akar masalahnya karena sudah berlangsung turun-temurun dan mengakar ke anak cucu. Karena itu, banyak laga derbi yang kerap menimbulkan kekhawatiran bakal rusuh.

Aremania dan Bonek (Persebaya) adalah salah satu rivalitas suporter yang sudah berlangsung lama. Bahkan, laga derbi antara Arema FC selaku tuan rumah kontra Persebaya di Stadion Kanjuruhan ketika tragedi itu terjadi tidak boleh dihadiri Bonek.

Ironisnya, laga yang nyatanya secara langsung hanya ditonton Aremania di Stadion Kanjuruhan dengan skor akhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya itu malah menelan banyak korban jiwa.

Yang lebih menyedihkan, banyak anak-anak dan perempuan yang menjadi korban meninggal dalam tragedi yang terjadi bersamaan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat setidaknya 33 anak dengan rentang usia 4-17 tahun meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan.

"Tiga puluh tiga anak meninggal dunia (terdiri atas) delapan anak perempuan dan 25 anak laki-laki, dengan usia antara empat tahun sampai 17 tahun," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar, dikutip Antara, Jumat.

Bisa dibayangkan berapa banyak ibu yang mulai saat itu membenci sepak bola karena harus kehilangan anaknya? Berapa banyak pula anak-anak yang kemudian trauma, bahkan untuk sekadar bermain bola?

Semestinya, tragedi Kanjuruhan menjadi sarana introspeksi bagi seluruh pihak, tak terkecuali suporter. Mereka pun sepertinya saat ini juga sudah mulai jengah dengan rivalitas buta terhadap tim kesayangannya yang kebablasan.