JAKARTA - Rivalitas persepakbolaan di Indonesia acap kali memakan korban. Fanatisme buta kepada klub yang dibela jadi muaranya. Klub bola kesayangannya dibela matian-matian bak menjaga sebuah martabat. Imbasnya pun fatal: suporter tewas.
Tragedi tewasnya Haringga Sirla, misalnya. Haringga Sirla hanya ingin eksis menyaksikan tim kesayangan bermain di kandang lawan. Takdir berkata lain. Ia harus meregang maut dikeroyok suporter Persib Bandung di Gelora Bandung lautan Api. Padahal, tiada fanatisme yang semahal harga sebuah nyawa.
Sepak bola sempat jadi permainan kaum elitis di zaman penjajahan Belanda. Mereka yang boleh bermain bola dengan layak hanya terbatas kepada orang kulit putih saja. Kaum bumiputra seakaan tak memiliki akses bermain bola. Tokoh-tokoh bangsa pun prihatin.
Tokoh Betawi Mohammad Hoesni Thamrin dan tokoh bumi Pasundan Otto Iskandar Dinata adalah beberapa di antaranya. Mereka mendobrak rasisme itu. Kedua membukakan jalan bagi kaum bumiputra untuk mengakses sepak bola. Lapangan sepak bola didirikan.
Keduanya beranggapan sepak bola adalah permainan untuk semua. Pun sepak bola dijadikan oleh mereka sebagai alat perlawanan. Utamanya melawan kolonialisme dan rasisme. Manfaatnya pun baru terasa ketika Indonesia merdeka.
Olahraga sepak bola kemudian dikembangkan sebagai sarana untuk merekatkan persatuan dan persahabatan. Narasi itu jelas terdengar heroik. Namun, ada sisi gelapnya. Perkembangan sepak bola kerap membawa penumpang gelap. Fanatisme buta, namanya.
Fanatisme sejatinya boleh-boleh saja. Apalagi suporter adalah nyawa dari sebuah klub sepak bola Indonesia. Masalahnya muncul ketika fanatisme yang dianut adalah fanatisme buta. Alias klub sepak bola yang dicintainya serupa menjaga martabat, ideologi, hingga harga diri. Karenanya, barang siapa yang tak mendukung klub yang mereka cintai, niscaya akan diperlakukan bak pemberontak.
“Di sisi lain, sifat fanatisme suporter juga sebagai boomerang terhadap klub yang mereka dukung. Tidak jarang kita mendapat kabar buruk perilaku suporter yang anarkis dan bertindak kekekarasn fisik, bahkan sampai kehilangan nyawa. Suporter yang bertindak anarkis ini disebabkan oleh fanatisme yang buta. Saat terjadinya tindakan anarkis maupun kerusuhan suporter banyak media-media di Indonesia yang memberitakan tentang kejadian ini.”
Mengenang 1 tahun berpulangnya Haringga Sirla.
.
Kemenangan hari ini kami persembahkan untukmu, kawan 👆
.
Doa terbaik untukmu, selalu 🙏
.#PersijaJakarta pic.twitter.com/XAUSAhuTNe
— Persija Jakarta (@Persija_Jkt) September 23, 2019
“Kita pasti juga menemui tentang berita kerusuhan di media sosial. Banyak netizen-netizen yang mengupload video maupun gambar kejadian saat kerusuhan. Hal inilah yang menjadi suporter di Indonesia mendapat stigma buruk dari masyarakat Indonesia maupun dari masyarakat luar negeri,” ungkap Endis Citra Pradinda Rahmawati dalam buku Media dan perkembangan Budaya (2020).
Tragedi Haringga Sirla
Fanatisme buta dalam mencintai klub bola kesayangan tak jarang mengundang kematian. Rivalitas Persija Jakarta dan Persib Bandung, misalnya. enam nyawa telah melayang karena rivalitas keduanya dalam kurun waktu dari 2012 hingga 2017. Antara lain tewasnya Rangga Cipta Nugraha (2012), Lazuardi (2012), Dani Maulana (2012), Gilang (2016), Harun Al Rasyid (2016), serta Ricko Andrean (2017).
Tragedi tewasnya Haringga Sirla lalu menambah deretan kisah pilu dari fanatisme buta. Pria berusia 23 tahun itu ngebet ingin menyaksikan langsung tim kesayangan Persija berjumpa Persib di Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), pada 23 September 2018.
Haringga Sirla tak mengindahkan komentar rekan-rekannya untuk mengurungkan niat nonton langsung. Ia yakin dapat ‘berkamuflase’ di antara Bebotoh (sebutan Suporter Persib). Penyamaran itu berhasil untuk sementara waktu. Ia sampai di ring satu satu stadion GBLA. Bahkan, ia tampak mampu berdiam dalam kerumunan.
Pria yang berdomisi di Cengkareng itu nyatanya tak puas. Konon, ia berani mengeluarkan kartu identitas suporter dan stiker Persija. Haringga lalu mendokumentasikan sebagai bukti eksistensinya di GBLA. Jauh panggang dari api. Aksinya dilirik Bobotoh.
Pengeroyokan tak terhindarkan. Bobotoh menghajar Haringga tanpa kenal ampun. Bahkan video pengeroyokan itu tersebar di antara lini masa media sosial. Malang tak dapat ditolak. Haringga babak-belur. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, nyawa tak tertolong. Haringga tewas dengan luka di sekujur tubuh.
Kematian Haringga menambah daftar panjang dari rivalitas Persija dan Persib. Kejadian itu menjadi bukti bahwa fanatisme buta, apapun bentuknya sudah semestinya dihindari. Sebab, tiada fanatisme yang semahal kehilangan nyawa.
BACA JUGA:
“Ada ungkapan yang sering anda lihat di belakang kemeja sepak bola di Indonesia, terutama di Jakarta: Sampai Mati. Kematian terakhir terjadi enam bulan sebelumnya. Seorang pria berusia 23 tahun pendukung Persija, Haringga Sirla, dibunuh oleh penggemar Persib pada permainan di Bandung.”
“Padahal, penggemar kedua pihak telah dilarang datang ketika dua tim bermain di kandang masing-masing. Tapi Haringga memilih menyamar. Ia pun ditangkap oleh suporter Persib yang mengetahui identitasnya sebagai pendukung Persija. Ketika mereka melihat Haringga dari Jakarta massa memukulinya sampai mati. Dia ditikam, kepalanya patah, lehernya patah, hidungnya patah,” tutup James Montague dalam buku 1312: Among the Ultras (2020).