Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 57 tahun yang lalu, 4 Oktober 1965, Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto menyaksikan langsung pengangkatan jenazah jenderal korban pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S). Wafatnya enam jenderal dan satu orang perwira itu jadi bukti kebiadapan pelaku kudeta.

Ia pun menduga Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sebagian anggota TNI Angkatan Udara (AU) terlibat. Pun Soeharto meminta petinggi AU segera bergerak cepat untuk membersihkan seluruh anggotanya yang terlibat kudeta.

Peristiwa G30S membawa luka yang amat dalam bagi bangsa Indonesia. Tindakan penculikan sederet Jenderal TNI Angkatan Darat dianggap keterlaluan. Enam orang jenderal dan satu perwira berhasil diculik.

Antara lain Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani. Sisanya adalah staf umum Angkatan Darat, mulai Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R. Supriapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiardjo, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan ajudan A.H. Nasution, Lettu Pierre Tandean.

Proses pengangkatan jenazah enam jenderal dan satu perwira dari sumur Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965. (Wikimedia Commons)

Penculikan itu membuat seisi Jakarta gempar pada 1 Oktober 1965. Empunya kuasa mengimbau seluruh warga Jakarta untuk tetap berada di rumah. Isu militer menguasai kota menyeruak ke mana-mana. Sekolah dan perkantoran diliburkan karenanya.

Pasukan pemberontak lalu mencoba mengambil alih Radio Republik Indonesia (RRI). Tindakan itu membuat gerah Pangkostrad Jenderal Soeharto. The Smiling General segera mengisi kekosongan kepemimpinan AD. Pemberontak pun mampu dipukul mundur dan suasana Jakarta menjadi tenang.

“Di rumah sakit, malam harinya ia mendengar radio bahwa tentara sudah berhasil mengendalikan situasi. Komandan pengganti melaporkan bahwa penculikan enam jenderal serta pendudukan Medan Merdeka merupakan perbuatan para kontrarevolusioner. “

“Lapangan itu sudah kembali bebas, Presiden Soekarno dalam keadaan aman, namun, tak ada satu berita pun mengenai para jenderal yang menghilang. Ketika Dolly pulang ke rumah keesokan paginya, tampak bahwa pemberontkan di ibu kota berhasil dipadamkan dalam waktu 24 jam tanpa pertumpahan darah. Pasukan pemberontak sebagian besar telah menyerah dan lapangan udara yang mereka kuasai sudah dikosongkan,” ungkap ibu dari Japto Soerjosoemarno (Ketua Umum Pemuda Pancasila), Dolly Zegerius sebagaimana ditulis Hilde Janssen dalam buku Tanah Air Baru, Indonesia (2016).

Nasib dari korban penculikan akhirnya terungkap pada 4 Oktober 1965. Enam orang jenderal dan satu perwira pertama ditemukan tewas di sumur tua Lubang Buaya. Upaya pengangkatan jenazah dilakukan setelahnya.

Sumur Lubang Buaya, tempat jenazah Pahlawan Revolusi korbang pemberontakan G30S PKI dibuang. (Wikimedia Commons)

Soeharto pun hadir. Ia tak lupa menyapaikan pidatonya. Ia menduga ada PKI dan beberapa anggota TNI AU di balik G30S PKI. Pun Soeharto ingin semua yang terlibat segera dibersihkan karena sudah mengganggu stabilitas nasional.

“Keesokan harinya, Senin 4 Oktober 1965, penggalian jenazah dilakukan dengan intensif. Batang pisang, daun singkong, dan tanah, yang secara berselang-seling menutup lubang, disingkirkan. Berkat bantuan Kompi Penyelam (KIPAM) dengan peralatan khususnya, jenazah-jenazah itu diangkat.”

“Pengangkatan jenazah tersebut disaksikan langsung oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto yang didampingi oleh Direktur Peralatan AD, Direktur Polisi Militer AD, Direktur Zeni, Kepala Penerangan AB dan sejumlah wartawan. Maksudnya agar publik mengetahui secara terbuka. Di kemudian hari tindakan Soeharto dengan rombongannya dituduh sebagai usahanya untuk merekayasa agar ia dapat mengambil dari keuntungan dari opini yang terbentuk,” tertulis dalam buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional Volume 1 (2012).