JAKARTA - Banjir Jakarta adalah kutukan. Para pesimisme akan berkata begitu. Namun tak sepenuhnya salah jika melihat panjangnya sejarah banjir di Ibu Kota. Sejak Batavia, dari zaman pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen, wilayah ini terus-terusan dengan masalah yang sama. Satu tokoh penting dalam upaya penanganan banjir di Batavia adalah Herman van Breen.
Memang, banjir tak pernah benar-benar hilang. Tapi upaya signifikan mencatatkan nama Van Breen jadi aktor penting dalam upaya menghalau air. Di satu titik, banjir Jakarta sempat ditanggulangi. Van Breen kala itu membangun bendungan hingga kanal.
Sejarah penanggulangan banjir Batavia dimulai saat Ibu Kota diterjang banjir besar tahun 1873. Banjir itu membuat pemerintah kolonial Belanda kalang-kabut. Sebagai sebuah gagasan melawan banjir, pemerintah mulai merintis Burgerlijke Openbare Werken (BOW) alias jawatan Pekerjaan Umum (PU).
Namun pencegahan secara masif banjir Jakarta dimulai pada era M.H Thamrin aktif sebagai anggota Dewan Kota Batavia. Thamrin yang sekarang dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia mengajak pria bernama Herman van Breen. Keduanya lalu merintis strategi dan upaya penganggulangan banjir pada 1919.
“Ketika terjadi banjir yang merendam hampir seluruh Kota Batavia tahun 1873, badan ini (BOW) diplesetkan menjadi Batavia Onder Water (Batavia di bawah air). Setelah banjir kembali merendam Batavia tahun 1918 dan menelan sejumlah korban, pemerintahan kolonial Belanda mulai merencanakan upaya mengendalikan banjir dan menunjuk Prof. Dr. Herman van Breen sebagai Ketua Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir. Saat itu luas Kota Batavia masih seluas 2.500 hektar,” ungkap Adhi Kusumaputra dalam Banjir Kanal Timur: Karya Anak Bangsa (2010).
Van Breen yang lahir di Amsterdam 28 Mei 1881 adalah insinyur sipil lulusan Polytechnische School Delft. Karier pertamanya adalah bekerja di Burgerlijke Openbare Werken (BOW) alias jawatan Pekerjaan Umum (PU) milik Belanda.
Van Breen mendapat tugas pertama bekerja di Jember Hindia Belanda. Di sanalah karier Van Breen sebagai insinyur di Hindia-Belanda bermula. Seiring ketekunannya, karier Van Breen terus menanjak. Pada 1911 Van Breen jadi Kepala Kantor Pengairan Batavia. Setelahnya, Van Breen jadi Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir Batavia.
“Dengan terdapatnya kepentingan langsung Belanda terhadap kehidupan kota, maka mereka lebih mengutamakan pambinaan kota dalam bentuk penyediaan prasarana dan fasilitas kota. Di kala itu prasarana dan fasilitas kota Jakarta telah direncanakan untuk jumlah penduduk antara 600.000 sampai 800,000 jiwa. Di antara pembinaan tersebut terdapat misalnya usaha membebaskan Jakarta dari banjir di mana Prof. Ir. Van Breen mengembangkan konsep pengendalian banjir kanal untuk mengendalikan aliran kali Ciliwung,” tulis mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin dalam buku Gita Jaya (1977).
Upaya Van Breen Tanggulangi Banjir Jakarta
Van Breen ditugasi oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Terpilihnya Van Breen karena dirinya dikenal sebagai ahli dalam bidangnya. Van Breen bahkan disebutkan sebagai insinyur yang mampu berpikir jauh melampau zaman. Dalam konsepnya, Van Breen membangun saluran penampungan akhir di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air. Limpahan air itu lalu dialiri ke laut melalui tepian barat kota.
Saluran pengepul itu langgeng dikenal dengan istilah Banjir Kanal Barat (BKB) yang dibangun pada 1922. BKB membentang membelah Batavia, dari Pintu Air Manggarai dan berujung di kawasan Muara Angke. BKB cukup ampuh. Beban sungai di utara saluran tampak lebih terkendali. BKB pun jadi bagian penting dalam sistem makro drainase kota yang berfungsi mengurangi genangan air di dalam kota.
Terkait lokasi pintu air manggarai, Van Breen memiliki alasan tersendiri. Manggarai, kata Van Breen diyakini sebagai titik awal kanal. Van Breen berpendapat Manggarai merupakan batas selatan kota yang pada waktu itu relatif masih bebas banjir. Hal itu memudahkan sistem pengendalian aliran air pada saat musim hujan, seperti mengatur debit air ke dalam kota, misalnya.
Ada pula keunggulan lain dari Pintu Air Manggarai, yakni untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama, Karet, Kali Krukut Lama, serta Kali Cideng Bawah. Tak hanya itu. BKB juga mengendalikan banjir dari Menteng dan Weltevreden (kawasan sekitar Lapangan Banteng). Saking berhasilnya Van Breen, jalan di tepian banjir kanal itu memakai namanya, Van Breen Weg (Sekarang: Jalan Latuharhari).
Belanda pelit dan penggundulan hutan
Upaya Van Breen berhasil. Sayang, tak berlangsung lama. Biang masalahnya adalah karena Batavia semakin luas dan jumlah penduduk kota semakin meningkat. Ditambah lagi oleh kebimbangan pemerintah kolonial Belanda yang tak segara menindaklanjuti rencana Van Breen.
Pemerintah nampaknya cukup puas dengan banjir kanal. Tak jarang pemerintah mendewakan kanal banjir sebagai satu-satu alasan banjir tak akan menyapa Batavia kembali. Van Breen tahu anggapan itu adalah kesalahan.
Kanal banjir, menurut Van Breen tak bisa dijadikan satu-satunya opsi pengendalian banjir. Harus ada upaya lain. Sejarawan JJ Rizal menyebut langkah Belanda yang lambat dan pelit jadi sebagai sumber masalah. Padahal, Van Breen sebelumnya telah meminta supaya pemerintah kolonial memerhatikan dengan serius peranan unsur non-infrastruktur dalam menanggulangi banjir.
“Pada 1923, di dalam peninjauan masalah banjir Van Breen mengungkapkan harus ada seperangkat aturan non-infrastruktur agar kerja infrastruktur banjir berjalan, yaitu menjaga profil semua sungai, menghentikan penggundulan hutan dan reboisasi di selatan Batavia, memelihara resapan serta penampungan air buatan maupun alami —waduk maupun situ— sebab masalah air di Batavia bukan menyangkut kelebihan air di musim hujan, tetapi juga kekurangan di musim panas,” JJ Rizal dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Ribuan Tahun Banjir Jakarta (2013).
JJ Rizal juga menambahkan dua penyebab kegagalan kanal banjir. Pertama, pemerintah kolonial cenderung pelit. JJ Rizal mengibaratkan pemerintah kolonial seperti tukang kelontong yang pelit. Imbasnya, rencana Van Breen terlaksana sepotong-sepotong.
Kedua, penggundulan hutan yang semakin masif di kawasan pegunungan Jawa Barat utara bagian tengah. Penggundulan itu banyak dilakukan untuk membuka lahan perkebunan teh sejak 1877.
“Pada masa lima puluh tahun pertama ini, penanganan banjir menjadi prioritas utama pada sepuluh tahun pertama, yaitu periode 1911-1919. Setelah itu terjadi penurunan dalam penanganan banjir. Meskipun demikian, hasil-hasil yang telah diperoleh pada masa ini telah digunakan sebagai dasar-dasar pengembangan lebih lanjut. Bahkan pemikiran Herman van Breen menjadi perencanaan induk penanganan banjir selanjutnya,” Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal (2010).