Bagikan:

JAKARTA - Jauh sebelum Amerika Serikat mengenal Santa Claus, Belanda telah lebih dulu memiliki tradisi pesta sinterklas yang digelar setiap tanggal 5 Desember. Tradisi ini juga ikut masuk ke Indonesia pada zaman Hindia-Belanda.

Pesta sinterklas selalu berlangsung meriah, terutama di Batavia. Setiap anak-anak Belanda dan para anak bangsawan akan merayakannya dengan bertukar hadiah. Tradisi ini terus dilakukan, bahkan setelah Indonesia merdeka. Namun tradisi ini berakhir pada 1957.

Presiden Sukarno melarang perayaan ini. Pelarangan itu disusul pengusiran orang Belanda hingga keturunannya sebagai akibat dari dampak hubungan Indonesia dan Belanda sedang memanas. Peristiwa pengusiran dan pelarangan perayaan itu kemudian dikenal dengan istilah "Sinterklas Hitam".

Dikutip dari buku A History of Modern Indonesia Since C.1200 karya Merle Calvin Ricklefs, saat itu Presiden Sukarno memerintahkan Kementerian Hukum Indonesia mengeluarkan surat pengusiran kepada 46 ribu orang Belanda untuk angkat kaki dari Indonesia.

Gerakan menolak warga Belanda (Sumber: anderetijden.nl)

Sebenarnya, sejak penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia pada tahun 1949, memang sudah banyak warga Belanda maupun orang keturunan Belanda yang mulai meninggalkan Indonesia.

Tapi, perpindahan itu tidak berlangsung besar-besaran serta tidak otomatis membuat semua orang Belanda pergi dari Indonesia. Peristiwa Sinterklas Hitam dilatarbelakangi perundingan alot antara Indonesia dan Belanda soal wilayah Irian Barat.

Ketika itu, Belanda enggan melepaskan wilayah Irian Barat kepada Indonesia. Kemarahan Sukarno semakin meledak karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan Irian Barat masuk ke wilayah kekuasaan Belanda pada 29 November 1957.

Untuk meluapkan kemarahan tersebut, Presiden Sukarno pada 5 Desember 65 tahun lalu mengultimatum warga Belanda di Indonesia dan melarang mereka merayakan tradisi Sinterklas. Menurut Sukarno, puluhan ribu orang Belanda, baik yang keturunan ataupun tidak, tetap berbahaya saat sengketa Irian Barat tersebut. Karena itu lah mereka harus angkat kaki dari Indonesia.

Menjalar ke seluruh Indonesia

Sikap anti Belanda ini juga ahirnya menjalar ke seluruh daerah di Indonesia. Bagi warga Belanda, tanggal 5 Desember 1957 yang seharusnya berjalan meriah seperti yang mereka lakukan sejak ratusan tahun lalu, berubah menjadi kelabu. Tidak ada nyanyian, arak-arakan, apalagi tukar kado.

Mereka takut keluar rumah dan lebih memilih membereskan perkakas untuk segera pergi dari Indonesia. Mereka mengenang peristiwa itu dengan sebutan "Zwarte Sinterklaas" yang artinya Sinterklas Hitam. Warga Belanda tidak berani melawan atau memilih untuk tetap tinggal, karena situasi mencekam.

Demonstrasi anti Belanda terjadi di mana-mana, diselingi teriakan "Usir Belanda". Selain itu, banyak tembok di tiap kota yang bertuliskan seruan pengusiran warga Belanda. Gerakan massa ini juga dibarengi dengan pengambil alihan perusahaan-perusahaan yang dikuasai Belanda untuk dinasionalisasi.

Gerakan menolak warga Belanda (Sumber: anderetijden.nl)

Kebencian itu semakin menjadi-jadi. Toko-toko saat itu enggan melayani pembeli dari warga Belanda. Melihat kebencian semakin parah, banyak dari warga Belanda yang memilih pindah dalam waktu 1x24 jam. Banyak juga di antara mereka yang pergi tanpa membawa barang apapun akibat di usir paksa oleh gerakan massa.

Berbondong-bondong mereka bergerak menuju pelabuhan, menaiki kapal yang disediakan Pemerintah Belanda untuk kembali ke Negeri Kincir Angin itu. Keadaan kapal penuh sesak. Terang saja. Hampir 46 ribu warga Belanda maupun warga keturunan Belanda pergi secara serentak bersama kapal tersebut.

Di tiap-tiap daerah. Banyak dari mereka yang bahkan rela menempuh perjalanan ribuan mil dengan bertempat di dek kapal. Mereka juga terpaksa makan dan minum sana. Menyelamatkan diri dari amukan massa jelas jadi lebih penting bagi mereka.

Tak sedikit yang terusir paksa itu adalah warga Belanda keturunan Indonesia yang sudah lahir dan tumbuh besar di Indonesia dari generasi ke generasi. Bahkan, banyak dari mereka malah belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke Belanda. Mereka bingung dan bertanya-tanya seperti apa negara itu, bagaimana kehidupan di sana.

Walaupun tampilan fisik mereka berambut pirang dan bermata biru, tapi bagi warga keturunan Belanda, negara Indonesia adalah tanah kelahiran yang juga mereka cintai. Saat tiba di Belanda, mereka disambut oleh Palang Merah Internasional yang langsung menindak para pengungsi yang terserang penyakit selama di perjalanan.

Banyak dari mereka memulai kehidupan dari titik awal. Tanpa rumah, apalagi pekerjaan. Mengatasi situasi tersebut, Pemerintah Belanda lewat Kementerian Sosial mengimbau kepada seluruh warga Belanda lewat siaran TV dan Radio untuk menampung para pendatang baru itu di rumah-rumah mereka.