Bagikan:

JAKARTA - Berbicara terkait daerah yang tak pernah absen dari bencana banjir, tentu tak lengkap tanpa menyertakan nama kota (yang saat ini masih ber-status ibu kota Negara Indonesia), Jakarta. Selain dikenal dengan sebutan kota metropolitan yang kini berkembang tanpa kendali, Jakarta juga secara semrawut dalam menyulap kawasan resapan air menjadi proyek infrastruktur.

Setidaknya, itulah realita yang berkembang sekarang ini. Namun, kalau di tarik ke beberapa waktu yang lampau. Narasi “banjir” –pun sudah menghinggapi Jakarta yang oleh Bung Karno disebut Mercusuar di mana perjuangan seluruh umat manusia.

Hal itu terjadi jauh sebelum banjir besar tahun 2002, 2007, 2013, hingga yang terbaru (bertepatan dengan dengan menyambut tahun baru) 2020. Dampaknya tentu menggenangi 12 jalanan besar dan merendam banyak rumah di Jakarta. Bahkan merenggut korban jiwa di sejumlah lokasi.

Namun, sebelum itu fenomena banjir sudah mulai menjadi masalah bersama pemangku kekuasaan ibu kota. Bahkan, sebelum ibu kota bernama Jakarta.

Karena semenjak bernama Batavia, baik kala pusat pemerintahan masih berada di Oud Batavia (Batavia lama: Kawasan Kota Tua) hingga dipindahkan oleh Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808 -1811), dari pesisir ke Nieuw Batavia (Batavia Baru: daerah sekitar Lapangan Banteng sekarang) banjir selalu menjadi masalah kala musim penghujan.

Gambaran banjir di ibu kota Jakarta tempo dulu (Wikimedia/Demmeni, J 1866-1939, Leiden University)

Sampai-sampai Susan Blackburn dalam bukunya berjudul “Jakarta Sejarah 400 Tahun,” mengungkap bahwa (saat itu) bagi sebagian besar orang eropa, Batavia menjadi tempat yang tak layak huni karena di musim kemarau kanal-kanal mengeluarkan bau busuk, dan pada musim hujan mengundang banjir.

Ia berujar : “Air pasang membawa pasir yang menghambat aliran air kali, serta lumpur yang terbawa ke hilir semakin banyak akibat pembukaan lahan di bagian hulu untuk pertanian. Kombinasi semua hal tersebut menyebabkan banjir.”

Sungguh banjir di Jakarta ini mirip-mirip perayaan Jakarta Fair (yang selalu dihelat tiap tahun). Sangking seringnya banjir, warga Jakarta sekaan memiliki anggapan anggapan: “langkah yang paling benar menghadapi banjir Jakarta ialah pasrah, dan menunggu banjir surut.”

Pasrah karena sedari dulu segala daya upaya sudah dilakukan oleh pemerintah dari zaman masa kolonial belanda, penjajahan Jepang, orde lama, orde baru, dan orde paling baru. Hasilnya, segala macam daya (upaya) penanggulan banjir tak jarang berujung gagal.

Pasrah pula karena semenjak perpindahan dari Oud Batavia ke Nieuw Batavia, semangat menanggulangi banjir sudah agak kendur. Apalagi dimasa sekarang (masa kepemimpinan Gubernur DKI, Anies Baswedan), tampaknya menjadi penyelenggara Formula E atau proyek pelebaran trotoar masih menjadi prioritas yang utama.

Padahal, hal tersebut sungguh tidak ada hubungannya dalam hal penanggulangan bencana banjir setahun sekali (yang jelas-jelas memiliki urgensi tinggi).

Serta pasrah karena adapun gagasan menarik terkait penanggulangan seperti yang dituangkan oleh Herman Van Breen (Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir) pada tahun 1922, yang memiliki rencana mengatasi banjir Batavia, melalui ide memecah aliran sungai yang masuk Batavia (melalui sebelah kiri dan kanan Batavia) guna aliran air tak masuk tengah kota, sungguh tak mendapatkan dukungan maksimal.

Meski kontribusi Breen kala itu sedikit mampu membuat Jakarta terhindar banjir. Ironinya, dalam rencananya itu justru mengalami kekeliruan, yang seakan-akan kanal banjir (idenya) menjadi penyelamat dan pengendali banjir di Batavia.

Itu semua tertuang pada saat penjauan masalah banjir pada 1923, ia mengunggungkap agar rencananya berjalan lancar, harus ada didukung aturan lainnya dalam hal non-infrastuktur. Seperti menjaga profil semua sungai, menghentikan penggundulan hutan, melakukan reboisasi di selatan Batavia, serta memelihara resapan penampungan buatan ataupun alami.

Sayangnya, kanal banjir yang diinisiasi oleh Breen kemudian gagal. Mengunduh pendapat JJ Rizal (Sejarawan), seperti dilansir, Majalah Tempo kegagalan Jakarta menangani banjir disebabkan oleh beberapa hal.

“Satu sisi kegagalan disebabkan oleh pemerintah yang cenderung pelit membiayai ide dari Breen, sehingga dalam hal penerapan menjadi kurang maksimal (pelaksanaannya sepotong-sepotong). Sisi lainnya, disebabkan oleh terjadi penggundulan hutan secara besar-besaran untuk perkebunan teh di daerah Jawa Barat bagian tengah sejak 1877.”

Kiranya, tak perlu menyalah pemerintah saat itu atau Breen. Betapa tidak, Alwi Shahab lewat bukunya “Banjir Kota Jakarta” sudah mengungkap bahwa sebelum itu sudah ada 66 Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang tak marasa bersalah atas terjadinya banjir di Jakarta. padahal, tiap mereka sudah tentu memiliki siasat yang beragam.

Optimisme itu Perlu

Sekiranya, siapapun Gubernur Jakarta yang terpilih, tetap saja akan mendapatkan suatu masalah ketika ide-ide menanggulangi banjir hanya menyiapkan modal berupa “mainan” infrastuktur belaka.

Selama pemerintah provinsi DKI Jakarta tak berani membentengi ide-ide pencegahan banjir dengan aturan lainnya dalam hal non-infrastuktur, maka selama itu pula, cita-cita membuat Jakarta terbebas dari banjir, hanya mitos dari ratusan tahun belaka.

Oleh karenanya, boleh saja Gubernur DKI Jakarta masa bakti 2017-2022, Anies Baswedan, memiliki ide merevitalisasi sungai dengan cara naturalisasi. Atau yang didefinisikan sebagai cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, dan konservasi.

Tapi, jikalau agenda tersebut hanya berfokus pada penggunaan bronjong batu kali untuk turap sungai, atau pengerukan semata. Maka, tak ada bedanya dengan gubernur-gubernur DKI Jakarta terdahulu (bahkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda).

Pantauan udara banjir di Jakarta (Mery Handayani/VOI)

Setidaknya, Pemintah sudah harus berani bersikap dengan menyiapkan sebanyak-banyak ruang bagi pohon dan air. Dan segel pula setiap kebijakan yang dibuat dengan memperhatikan 3 asas penting ini:

Pertama, asas manfaat, artinya bermanfaat bagi masyarakat Jakarta dan berkeadilan sosial, dan bukan malah adil pada investor semata, yang justru memasung bangsa sendiri sebagai tumbal atas nama pembangunan.

Kedua, asas kemadirian, dimana pemerinta dapat memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya lokal secara bijaksana. Apa yang sudah menjadi aset, itulah yang dikembangkan.

Ketiga, asas keberlanjutan, bahwa pembangunan tak melulu berbicara pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pelestarian lingkungan demi anak cucu.

Dengan begitu, niscaya bencana banjir tahunan yang melanda Jakarta akan teratasi. Sebab, seluruh masyarakat akan berada dibelakang Bapak Gubernur, sehingga “mereka senantiasa tak malu-malu mendukung, dan tak malu-malu dalam menegur bapak jika ada yang salah.”