JAKARTA - "Kenapa Soekarno memberikan nama jalan di sentral Jakarta dengan nama Mohammad Husni Thamrin? Intinya pasti ada sesuatu."
Begitu ucap Sejarawan JJ Rizal di depan Patung Thamrin yang menjadi penanda jalan MH. Thamrin di Jakarta Pusat. Dia berkata itu ketika sedang memimpin acara wisata sejarah dengan gowes bareng dalam rangka menelusuri pahlawan banjir Jakarta, seperti MH Thamrin dan H. Van Breen, 16 Februari.
Melalui acara tersebut, peserta yang tak tahu MH Thamrin jadi terbuka dengan sosok blasteran Belanda-Betawi yang lahir di Jakarta, 16 Februari 1894 ini.
Thamrin adalah seorang priayi Betawi. Dia anak dari Tabri Thamrin, seorang wedana. Kakeknya bernama Ort, seorang warga Inggris yang punya hotel di Petojo. Ort menikah dengan perempuan Betawi bernama Noeraini.
Semasa hidup, Thamrin peka dengan keadaan sekitarnya. Ketidakadilan yang diperlihat orang-orang Belanda kepada masyarakat pribumi di Batavia, membuatnya pasang badan dan membela mereka. Thamrin membela mereka soal urusan harga minyak tanah, penyiraman jalanan, harga kacang ijo, memperbaiki kampung-kampung, masalah banjir, hingga harga air.
Perjuangannya ini membuat Soekarno menjadikan teman dekatnya sebagai nama jalan. Soekarno dan Thamrin merupakan teman diskusi, berjuang, cerita, dan perkara perempuan.
Selebihnya, kisah Thamrin bisa didapat ketika menelusuri tempat tinggalnya di jalan Wedana, tempat kongkow di Gedung Harmoni, kuburannya di TPU Karet Bivak, pintu air Manggarai, patung Thamrin, hingga museumnya di Salemba.
Tepat pada jam 7 pagi, depan Gang Wedana di Sawah Besar, Jakarta Pusat, seluruh peserta gowes tadi berkumpul. Tempat ini merupakan kediaman Thamrin. Namun, sekarang berubah jadi tempat pedagang onderdil dan spare part mobil.
JJ Rizal berkisah, orang yang datang ke rumah Thamrin akan memiliki kesan yang mendalam. Beberapa senang, beberapa lain kagum, sementara beberapa lainnya menggambarkan setiap datang kediaman Thamrin akan disuguhkan minuman mahal seperti wine. Sayangnya, rumah Thamrin sudah tak ada karena dijual untuk membantu perjuangan Indonesia kala itu.
Dari Gang Wedana, penjelajahan berlanjut ke persimpangan Harmoni. Di sini, JJ Rizal mengenalkan sebuah tempat di mana Thamrin menghibur dirinya dari kepenatan. Tempat itu dulunya ialah Societeit de Harmonie.
JJ Rizal juga menjelaskan, pada masa itu, Societeit de Harmonie merupakan klub eksklusif yang tak sembarang orang dapat memasukinya.
"Orang-orang kulit putih saja yang boleh masuk, itu pun berbasis pengusaha ataupun pejabat. Baru, setelahnya dapat akses oleh pribumi yang memiliki status sebagai seorang priayi. Dan Thamrin salah satunya," kata dia.
Selama perjalanan gowes ini, tanya jawab terjadi. Banyak yang bertanya tentang keberadaan Volksraad (gedung dewan rakyat), tempat Thamrin berkantor. Volksraad yang sekarang ini, berganti menjadi Gedung Pancasila. Di tempat ini, kata JJ Rizal, Thamrin sering berpidato untuk memengaruhi pejabat Hindia-Belanda agar peduli nasib kaum pribumi. Dia pun mendapat julukan, Macan Mimbar.
Perjalanan kemudian diarahkan menuju patung MH Thamrin, lalu lanjut ke TPU Karet Bivak, tempat di mana Thamrin dimakamkan. Makam ini diarsiteki langsung oleh Bung Karno.
Thamrin wafat pada tanggal 11 Januari 1941 setelah sakit dalam waktu yang lama karena jadi tahanan rumah. Disinyalir, kematian Thamrin karena tim dokter dari pemerintah kolonial yang seharusnya mengobati Thamrin, malah membuatnya tambah sakit. Itulah mengapa isu Thamrin diracun pemerintah kolonial mencuat kepermukaan. Tapi, pemerintah Hidia Belanda langsung mengeluarkan laporan resmi bahwa Thamrin bunuh diri.
Gowes dilanjutkan ke pintu air Manggarai. Di sini, kiprah Thamrin dalam menyuarakan antisipasi banjir Jakarta dijelaskan panjang lebar oleh JJ Rizal. Thamrin memaksa pemerintah kolonial mengeluarkan uang untuk proyek sistem kanal yang dikepalai Prof. Ir. Hendrik van Breen.
Hendrik adalah insinyur yang membuat perencanaan pengendalian banjir melalui Kanal Banjir Barat, sistem polder, dan rencana Kanal Banjir Timur pada masa itu. Walau banjir kanal sempat membuat Jakarta terbebas banjir dalam beberapa masa, namun karena program ini tak dilanjutkan Jakarta pun kebanjiran lagi. Pembuatan pengendali banjir kanal timur dan barat yang idenya berasal dari 1913, baru dieksekusi secara penuh pada tahun 2000-an.
Perjalanan gowes ini akhirnya tuntas saat seluruh peserta memasuki museum MH. Thamrin yang berada di Salemba. Bangunan yang bergaya arsitektur Indische dengan ornamen khas rumah Betawi itu dulunya merupakan bangunan tempat tinggal Meneer de Has.
Tahun 1929, Thamrin membelinya untuk dihibahkan kepada satu organisasi yang bernama Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Gedung itu pun diberi nama Gedung Permufakatan Indonesia.
Bangunan ini memiliki peranan penting dalam lahirnya lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan WR. Supratman. Di tempat ini, lagu tersebut pertama kali diperdengarkan secara instrumental, tanpa alunan lirik.
Terakhir, kata-kata yang paling bisa diingat dari Thamrin adalah, “Kalau pemerintah enggak berani keluar duit bantu rakyat, Gue yang keluar duit!” Ini adalah ancaman yang serius darinya kepada Belanda saat itu.