JAKARTA – Sejarah hari ini, 101 tahun yang lalu, 28 Oktober 1921, Peneliti V.J. Van Marle menyebut Batavia sebagai kota terjorok di Hindia-Belanda. Pandangan itu disampaikan oleh Marle dalam sidang Dewan Kota Batavia. Ia menyebut kontras hidup di Batavia begitu terlihat.
Jarak antara si kaya dan si miskin terlampau jauh. Kondisi itu membuat Belanda melulu merawat pemukiman Belanda semata. Sementara pemukiman milik kaum bumiputra tak pernah diurusi. Marle bahkan mengatakan Batavia telah salah urus, padahal Ibu Kota Hindia-Belanda.
Batavia pernah mendapatkan julukan Ratu dari Timur. Julukan itu berdasarkan penuturan orang-orang yang menyaksikan awal mula pembangunan Batavia. Namun, julukan Ratu dari Timur tak bertahan lama. Kondisi iklim Batavia yang buruk serta perilaku penjajah Belanda yang abai jadi masalah.
Petaka datang. Polusi dan wabah penyakit menjelma sebagai musuh nomor satu orang Belanda. Kematian orang Belanda di Batavia meningkat. Sebab, penyakit mematikan telah mewabah di seantero Batavia Lama (kini: Kota Tua).
Perbaikan lingkungan hidup coba digelorakan. Penjajah Belanda melakukan segala cara. Akan tetapi, langkah yang diambil jauh dari kata efektif. Pembiaran dilakukan. Semua berubah pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels. Ia tak sudi memerintah dari Batavia Lama.
Ia menggelorakan pusat pemerintahan pindah. Pindah atau mati, katanya. Pemindahan pun dilakukan dari Batavia Lama, menuju Nieuw Batavia (Batavia Baru) yang kini berada di kawasan sekitar Lapangan Banteng (Weltevreden) pada 1809.
“Marsekal Daendels menganggap bahwa benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan di kota-kota pantai utara Pulau Jawa, terutama Batavia atau Jakarta sebagai pusat pemerintahan sipil dan militer sudah tidak sesuai dan tidak cocok keadaannya. Kota Batavia Lama tidak sehat.”
“Daendels memindahkan pusat pemerintahan sipil dan kekuatan militer Belanda dari Batavia Lama ke Weltevreden. Penduduk, terutama orang-orang Belanda dan Eropa lainnya dianjurkan dan dihimbau pula untuk pindah ke Weltevreden, ke Meester Cornelis (Kini: Jatinegara),” ungkap Sagimun M.D. dalam buku Jakarta dari Tepian Air Ke Kota Proklamasi (1988).
Pemindahan pusat pemerintahan tak luput dari masalah. Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda lewat panji Dewan Kota Batavia melulu mengistimewakan pemukim Belanda semata. Pemukim Belanda diberikan ragam hak istimewa: hak air bersih, bebas banjir, kesehatan, dan lain sebagainya.
Hak itu tak diberikan kepada kaum bumiputra yang notabene menjadi penghuni terbanyak di Batavia. Jalanan kampung mereka dibiarkan rusak. Tiada akses untuk kesehatan. Pun akses air bersih adalah hal yang mustahil ada.
Kondisi itu menggerakkan seorang purnawirawan militer Hindia-Belanda, V.J. Van Marle melempar kritik di Dewan Kota Batavia pada 28 Oktober 1921. Ia yang telah berkeliling Nusantara menyebut Batavia adalah kota yang paling jorok.
Keengganan pemerintah Kolonial Hindia-Belanda membangun ada di baliknya. Apalagi, pemerintah melanggengkan pilih kasih dalam membangun. Hanya wilayah orang Eropa saja yang dibangun. Sedang kaum bumiputra tidak sama sekali.
“Dengan adanya kondisi yang sangat kontras antara permukiman Eropa dan permukiman bumiputra, maka dalam sidang 28 Oktober 1921, V.J. Van Marle melaporkan adanya perbedaan antara jalan-jalan raya Batavia yang lebar dan gang-gang di kampung. Menurut Marle, jika wali kota hanya menghabiskan waktu senggangnya dengan mengadakan perjalanan ke luar pulau, ia akan menyaksikan tidak satu kampung pún dari Sabang sampai Merauke seburuk dan sejorok yang ada di Batavia.”
“Keengganan wali kota membangun perkampungan kumuh karena tanah-tanah itu dimiliki tuan tanah. Tuan tanah dikatakan rakus dan pelit. Kondisi kampung yang buruk mengakibatkan penduduk terancam kesehatannya, menurunnya taraf hidup, dan rusaknya jaringan sosial,” terang Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal (2010).