JAKARTA – Sejarah hari ini, 115 tahun yang lalu, 28 Juni 1907, pendirian sekolah Eropa untuk etnis China mulai diusulkan. Usulan itu dikemukakan oleh pejabat Dewan Hindia kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Semuanya bermuara karena ketakutan Belanda akan tumbuh kembang nasionalisme di kalangan orang China. Satu tahun setelahnya, Belanda mulai mendirikan sekolah Belanda untuk orang China. Hollandsch Chineesche School (HCS), namanya. Hasilnya memuaskan. Kententraman di tanah Hindia pun terjaga.
Orang China selalu diistimewakan sedari awal kekuasaan Belanda. Keuletan dan kerja keras yang tinggi orang China jadi muaranya. Sikap itu kemudian membawakan banyak keuntungan bagi Belanda. sebagai balas jasa, pintu masuk untuk orang China ke Batavia dibuka lebar-lebar. Bahkan, maskapai dagang Belanda, VOC sampai memaksa orang China untuk menetap di Batavia.
Ajian itu awalnya ditolak. Namun, sederet hak istimewa (pajak ringan hingga akses hukum) yang diberikan oleh VOC mulai menarik hati orang China. Setelahnya, mereka langsung jadi penggerak ekonomi di Batavia. Orang China dapat mengerjakan apa saja. Dari tukang kayu hingga pedagang.
Boleh jadi orang China mendapatkan keuntungan yang melimpah berkat hak istimewa yang diberikan Belanda. Tapi, tidak demikian dengan pendidikan. Kondisi itu berlangsung hingga berakhirnya VOC, dan dilanjutkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pendidikan untuk orang China adalah konsep yang terlupakan.
Era baru pun segera muncul. Kaum muda China di Batavia mulai unjuk gigi. Mereka mendirikan organisasi modern Tionghoa Hwee Koan (THHK) di Petekoan, Batavia pada 1900. Organisasi itu segaja didirikan dengan tujuan memberikan akses pendidikan kepada seluruh kaum China peranakan di Nusantara. Sisi lainnya, THHK untuk meningkatkan rasa nasionalisme di antara sesamanya.
“THHK dibentuk pada 17 Maret 1900 untuk menjadi pusat bagi keseluruhan pergerakan (Tionghoa) untuk reformasi adat istiadat dan tradisi Tionghoa. Perkumpulan ini mendirikan sekolah yang dibuka di Jakarta tahun 1901. Mereka membentuk sekolah Tionghoa modern dengan tiga cara.”
“Pertama, bahasa pengajaran adalah bahasa Mandarin, bukan Hokkian atau dialek Tiongkok Selatan lainnya. Kedua, mereka menggunakan kurikulum dari pendidikan Barat modern. Ketiga, kelas untuk perempuan segera dibuka dan, tahun 1928, sekolah di Batavia (dahulu disebut Jayakarta) menjadi sekolah untuk pelajar laki-laki dan perempuan,” tertulis dalam buku Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998 (2010).
Pendirian sekolah THHK buat Belanda khawatir. Sebab, sekolah itu berkiblat ke Negeri Tirai Bambu langsung. Yang mana, rasa nasionalismenya sesama orang China dapat sewaktu-waktu jadi ancaman Belanda.
Dewan Hindia (dewan legislatif zaman Belanda) mencium gelagat itu. Mereka kemudian mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes Benedictus van Heutsz (1904-1909) untuk segera membangun sekolah Eropa untuk orang China. Usulan untuk meredam nasionalisme etnis China itu dilakukan pada 28 Juni 1907.
“Dalam nasihat kepada pemerintah tahun 28 Juni 1907, Dewan Hindia mengusulkan pendirian sekolah-sekolah Belanda untuk anak-anak Tionghoa di kota-kota yang mungkin diadakan. Hal inilah yang mendorong pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak Tionghoa.”
“Sekolah ini dengan sepenuhnya menerapkan sistem pendidikan Barat dan dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sekolah yang didirikan tahun 1908 ini diberi nama Hollandsch Chineesche School atau HCS,” tutup Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008).
Ide pendirian Hollandsch Chineesche School (HCS) pada 28 Juni 1907 menjadi bagian dari sejarah hari ini di Indonesia.