Sutan Sjahrir Diculik Kelompok Persatoean Perdjoeangan dalam Sejarah Hari Ini, 26 Juni 1946
Perdana Menteri Sutan Sjahrir diculik kelompok Persatoean Perdjoeangan di Surakarta, Jawa Tengah pada 26 Juni 1946, yang tidak setuju atas jalan diplomasi yang dia lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan.. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 76 tahun yang lalu, 26 Juni 1946, Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir diculik dari Hotel Merdeka di Solo, Jateng. Penculikan Sjahrir dilakukan oleh kelompok Persatoean Perdjoeangan. Mereka menentang kebijakan Sjahrir yang terlalu lemah terhadap Belanda. Apalagi, Sjahrir menjadikan upaya diplomasi sebagai ujung tombak Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Jalur itu dianggap tak mencerminkan jiwa negara. Sebab, kelompok Persatoean Perjoeangan lebih memilih angkat senjata.

Upaya Indonesia merebut kemerdekaan bukan perkara mudah. Pejuang kemerdekaan tahu hal itu. mereka harus mengorbankan segalanya untuk membawa Indonesia merdeka. Dari waktu, keluarga, hingga nyawa. Ancaman di penjara dan diasingkan adalah sesuatu yang biasa. Sudah jadi bagian dari resiko perjuangan.

Indonesia pun merdeka pada 17 Agustus 1945. Peristiwa monumental itu disambut dengan gegap-gempita oleh rakyat Indonesia. Di tengah kemerdekaan, Indonesia nyatanya dihadapkan dengan masalah baru. Masalah itu bernama mempertahankan kemerdekaan.

Boleh jadi Jepang sudah angkat kaki dari Indonesia. Tapi tidak halnya dengan Belanda. Mereka ingin kembali menguasai Bumi Pertiwi kali kedua. Jalur perang dianggapnya opsi yang tepat. Segenap rakyat Indonesia berang ketika pasukan Belanda membonceng sekutu mulai masuk ke Nusantara.

Sultan Sjahrir tiba di Jakarta pada 30 Juni 1946, setelah sebelumnya diculik kelompok Persatoean Perdjoeangan di Solo pada 26 Juni 1946. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Pejuang kemerdekaan pun ingin angkat senjata. Namun, opsi melawan dengan senjata adalah hal yang mustahil. Indonesia belum kuat secara institusional atau pun kekuatan militer. Sutan Sjahrir muncul mengambil alih pemerintahan. Bung Kecil lalu menggelorakan ajian baru untuk mempertahankan kemerdekaan. Diplomasi namanya.

“Menoleh kembali ke tahun-tahun pertama peperangan kemerdekaan kita, saya kini (meskipun waktu itu sebagai seorang muda juga sering merasa tidak sabar dengan politik perundingan) tak begitu yakin dengan sikap kawan-kawan yang menganut ‘paham keras.’ Saya kini cenderung membenarkan politik yang digariskan Bung Sjahrir pada masa itu.”

“Cobalah bayangkan dengan kekuatan persenjataan apa kita pada masa itu akan dapat menghadapi kekuatan perang Inggris dan Belanda, yang menguasai udara dan lautan, angkatan perang serikat yang baru tampil penuh kemenangan gemilang dari sebuah peperangan dunia? Kini setelah kita tidak perlu menghadapi bahaya maut lagi, tentu saja mudah mengatakan bahwa politik ‘garis keras’ akan lebih efektif daripada politik perundingan,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).

Sutan Sjahrir memberikan konferensi pers di hadapan media pada 3 Juli 1946 soal penculikan terhadapnya yang dilakukan kelompok Persatoean Perdjoeangan di Solo pada 26 Juni 1946. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Opsi diplomasi pun menjadi polemik di antara pejuang kemerdekaan. Mereka menganggap diplomasi adalah jalan ‘kemayu’ untuk merdeka. Padahal opsi diplomasi terbukti banyak berhasil. Suara Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan mampu mendapatkan dukungan dari ragam negara dari pelosok dunia.

Tetap saja tak semua mendukung langkah Sjahrir. Kelompok Persatoean Perdjoeangan, misalnya. Bagi mereka, angkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sudah final. Karenanya, Bung Kecil diculik dari Hotel Merdeka, Solo pada 26 Juni 1946. Penculikan Sjahrir membuat Indonesia gempar. Soekarno terutama. Ia pun mengultimatum penculik untuk segera membebaskan Sjahrir.  

“Kasus ini bermula dari penculikan Perdana Menteri Sjahrir bersama dua menteri pada 26 Juni 1946 dari Hotel Merdeka, Solo. Sehari kemudian, Presiden Soekarno mengambil alih pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Bahaya Nomor 6 / Juni 1946 dan menyerukan pembebasan Sjahrir.”

Poster propaganda yang dikeluarkan kelompok Persatoean Perdjoeangan. (Murba Indonesia)

“Penculikan itu atas perintah Komandan Divisi III. Soedarsono menilai tindakan Sjahrir yang kompromistis menggelisahkan rakyat. Sjahrir dianggap mengkhianati revolusi melalui perundingan dengan Belanda yang merugikan Indonesia. Penculikan ini dilakukan dengan tujuan ingin mengembalikan Indonesia pada sistem pemerintahan presidensial. Memang kemudian, Sjahrir dibebaskan,” terang Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan (2014).

Penculikan Sutan Sjahrir oleh Persatoean Perdjoeangan pada 26 Juni 1946 yang dianggap sebagai upaya kudeta pertama di Indonesia mewarnai sejarah hari ini.