Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 89 tahun yang lalu, 19 Juni 1933, Pemerintah kolonial Belanda menganggap organisasi  Budi Utomo (BO) tak memiliki pengaruh siginifikan bagi kaum bumiputra. Bahkan organisasi yang didirikan oleh kaum bumiputra jebolan STOVIA itu dianggap terlalu elitis.

Politikus Hindia-Belanda E. Gobee jadi orang di balik laporan tersebut. Ia mengadukan temuannya kepada Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge. Namun, E. Gobee bukan orang pertama. Pendapat itu pernah juga disuarakan tokoh tiga serangkai (Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, dan Ernest Douwes Dekker).

Narasi Indonesia merdeka makin menguat ketika memasuki masa pergerakan nasional. Sebuah masa yang menjadi momentum paling menentukan dalam sejarah bangsa Indonesia. Kemunculan organisasi dengan ejaan lama Boedi Oetomo (BO) adalah musababnya.

BO adalah organisasi yang didominasi oleh kalangan bumiputra terpelajar dari sekolah dokter bumiputra, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Organisasi itu hadir untuk membela hak-hak kaum bumiputra. Utamanya pendidikan yang berfokus pada kaum bumiputra di Jawa dan Madura.

Setelahnya, Boedi Oetomo menjelma menjadi organisasi pertama kaum bumiputra yang  bersifat nasional dan modern. BO tak berjalan mulus-mulus saja. Kekurangan dana jadi kendala.

Boedi Oetomo, hanya di kalangan elit. 

Akan tetapi, hal itu bukan masalah besar. Visinya Boedi Oetomo yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa membuat BO kesohor. Banyak di antara mahasiswa STOVIA lalu bergabung di dalamnya.

“Diambil keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priayi rendah. Pada bulan Mei 1908, diselenggarakan suatu pertemuan yang melahirkan BO. Nama Jawa ini (yang seharusnya dieja budi utama) diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schoone streven (ikhtiar yang indah).”

“Tetapi menurut konotasi-konotasi bahasa Jawa yang beraneka ragam, nama itu juga mengandung arti cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia. Pada pertemuan pertama itu, hadir para perwakilan mahasiswa dari STOVIA, OSVIA (sekolah pangreh praja), sekolah-sekolah guru, serta sekolah-sekolah pertanian dan kedokteran hewan. Cabang-cabang Budi Utomo didirikan pada lembagalembaga pendidikan tersebut,” ungkap Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Kehadiran BO banyak menarik simpati kaum bumiputra terpelajar lainnya untuk bergabung. Anggotanya pun bejibun. Perlahan-lahan tujuan kehadiran BO mulai dirasa tak menyentuh masyarakat bawah. BO dianggap hanya organisasi kaum elitis belaka. Anggotanya priayi pula.

Pendapat itu diungkapkan pula oleh tokoh Tiga Serangkai. Mereka menganggap BO terlalu elitis. Kaum bumiputra kelas bawah nyaris tak menerima manfaatnya. Politikus Belanda E. Gobee pun merasakan hal yang sama. Ia memberikan temuanya di lapangan kepada petinggi Hindia-Belanda. Ia mengungkapkan hal yang sama: BO tak mampu menyentuh kalangan bawah.

“Satu hal yang dirasakan sebagai kekurangan dalam organisasi Budi Utomo adalah sebagaimana dikatakan oleh pelapor Belanda: Er zit geen Kromo in (Tak ada rakyat biasa di dalamnya). E. Gobée dalam laporannya kepada Gubenrur Jenderal De Jonge, 19 Juni 1933, mengatakan bahwa ketua umum Budi Utomo R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo menunjukkan, usaha Budi Utomo untuk membuat penduduk desa lebih sadar diri (zelfbewust) hingga sekarang amat sedikit hasilnya. Kontak erat dengan penduduk pedesaan, kecuali dari cabang Sragen, tidak terwujud,” tutup Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2004).