Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 89 tahun yang lalu, 19 Mei 1933, Jaksa Agung Hindia-Belanda, R.J.M. Verheijen menyarankan untuk segera melumpuhkan tokoh gerakan di Minangkabau. Rasuna Said ada pada daftar paling pucuk. Pergerakan wanita yang akrab disapa Kak Una itu dianggap berbahaya.

Ia mampu membakar semangat rakyat Minangkabau dengan retorikanya. Bahkan, gaungnya tak kalah dengan tokoh pergerakan laki-laki. Belanda pun kerepotan. Ia jadi melawan dua pihak. Pergerakan kaum laki-laki, dan pergerakan kaum wanita.

Pendidikan adalah hal penting yang didapatkan oleh kaum wanita. Itulah pesan yang kerap disuarakan oleh Rasuna Said. Sebab, ia sendiri merasakannya ketika masuk ke Sekolah Thawalib di Panyinggahan, Maninjau. Sekolah itu membuat mampu berpikir kritis. Pun ia jadi peka pada penderitaan rakyat karena dijajah Belanda.

Ia pun membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup. Karenanya, Kak Una tumbuh menjadi pribadi yang anti kolonialisme. Setelahnya, ia pun mengabdikan dirinya ke dalam dunia politik di Sumatra Barat. Bekal itu membuatnya berkesempatan untuk mengasah kemampuan memainkan retorika di atas podium.

Rumah tempat kelahiran Rasuna Said di Maninjau, Sumatra Barat yang kini dijadikan cagar budaya oleh Pemda Kabupaten Agam. (Wikimedia Commons)

Tiap Kak Una berpidato di atas mimbar, pejuang kemerdekaan dan kaum wanita langsung terbakar semangatnya.  Kemampuannya itulah yang membuat Kak Una dijuluki sebagai Singa Minangkabau.

Semua pesannya mampu menerkam jiwa-jiwa pejuang untuk segera melancarkan perlawanan kepada penjajah Belanda. Ia pun tak takut mati. Malahan, Kak Una selalu berapa di barisan terdepan dalam menggerakkan kaum wanita.

“Kemampuan pidato Rasuna Said yang ia dapatkan dari gurunya, H. Udin Rahmani di Sumatra, (Sekolah) Thawalib, ternyata sangat membantu aktivitas propaganda politik partainya. Bila ia datang di suatu tempat, rakyat datang berbondong-bondong mendengarkan ceramah politiknya.”

“Agen-agen PID (polisi rahasia Belanda) selalu mengincarnya dan mengikuti gerak-geriknya. Tak jarang di tengah pidatonya, Rasuna dipaksa berhenti dan diturunkan dari podium. Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda, ia dijuluki: singa betina,” Jajang Jahroni dalam buku Ulama Perempuan Indonesia (2002).

Kemampuan Kak Una membakar semangat rakyat Minangkabau sampai ke telinga penguasa Hindia-Belanda. Nyala semangat Kak Una harus segara dipadamkan, pikirnya. Jaksa Agung Belanda, Verheijen pun berkali-kali mengirimkan pesan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Bonifacius Cornelis de Jonge untuk mengawasi sepak terjang Singa Minangkabau.

Lukisan diri Rasuna Said. (Wikimedia Commons)

Pesan teranyar hadir pada 19 Mei 1933. Isinya Verheijen mengimbau De Jonge untuk segera mematikan langkah Rasuna Said dan kawan-kawan. Pesan itu langsung ditanggapi. Kak Una pun sempat diciduk oleh Belanda. Tapi penjara tak membuat nya jera. Ia tetap berjuang dengan caranya sendiri untuk memerdekakan bangsa.  

 “Tokoh-tokoh seperti Rasuna Said dan Rasimah Ismail sama sekali tak sedikit. Pada banyak rapat kaum perempuan merupakan mayoritas. Kerap kali mereka berpidato dengan lebih tajam dan lebih bersemangat dibandingkan dengan kaum lelaki. Pemerintah Hindia-Belanda melihat kemungkinan kesulitan yang lebih besar di masa datang, sehingga jika perlu melarang seorang perempuan berbicara di sebuah rapat.”

“Di antara pembicara-pembicara perempuan itu tentu ada yang sering dicontohkan tentang India yang melawan pemerintah kolonial secara pasif dan tanpa kekerasan, sebagaimana diajarkan oleh Mahatma Gandhi. Pendapat pejabat Belanda itu jelas menunjukkan bahwa Belanda menaruh hormat terhadap kaum perempuan Minangkabau yang berperan dalam gerakan politik,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2009).

Perintah penangkapan pejuang kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said oleh Belanda pada 19 Mei 1933 menjadi bagian dari sejarah hari ini.