Suara Lantang Singa Minangkabau Rasuna Said dari Atas Podium
Rasuna Said (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Peran kaum wanita dalam peta sejarah nasional tak bisa dianggap sepele. Gerakan wanita bahkan tak berfokus pada satu titik saja. Figur pejuang wanita ada di mana-mana, dari Sabang sampai Merauke. Di tanah Minangkabau, nama Rasuna Said jadi figur utama. Retorikanya menggelegar. Rasuna Said dapat membakar semangat perjuangan melawan Belanda. Itulah mengapa dirinya dijuluki: Singa Minangkabau.

Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September di Desa Panyinggahan, Maninjau, Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Haji Muhammad Said adalah pengusaha sukses sekaligus tokoh pergerakan.

Haji Muhammad Said dikenal begitu peduli dengan pendidikan anak-anaknya, terutama pendidikan Islam. Berkat ayahnya, Rasuna Said yang biasa dipanggil Kak Una dapat mengenyam pendidikan tinggi. Hak istimewa yang tak dimiliki banyak wanita di masanya.

Saat berada di bangku sekolahan, Rasuna Said tumbuh menjadi insan cerdas nan kritis. Rasuna Said mulai belajar banyak hal, utamanya belajar ilmu keislaman, seperti tauhid, fiqih, tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Pelajaran itulah yang secara tak langsung menumbuhkan pemikiran-pemikiran Rasuna Said yang progresif. Jauh melampaui zaman.

Ilustrasi foto Minangkabau di zaman lampau (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Pemikiran itu terus tumbuh hingga dianggap bahaya oleh sebagian guru-guru yang belum beradaptasi dengan kemajuan dunia. Perkembangan pemikirannya terus ditekan, hingga Rasuna Said yang telah menjadi murid Sekolah Dinayah Putri mulai tak kerasan.

Rasuna Said pun pindah ke sekolah Thawalib di Maninjau. Dikutip Mulyono Atmosiswartoputra dalam buku Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah (2018), di sekolah ini Rasuna Said digembleng sebagai calon pejuang yang kemudian berperan di barisan depan, menggerakan kaum wanita, dan segenap berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

“Selanjutnya, ia masuk Sekolah Thawalib di Panyinggahan, Maninjau. Sekolah ini dipimpin oleh H. Udin Rahmani, seorang ulama dari kelompok kaum muda. Di sini Rasuna Said digodok menjadi Muslimah yang tangguh. Dua tahun kemudian, yakni pada 1928, Rasuna Said dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah tersebut. Padahal, waktu yang seharusnya ditempuh untuk menyelesaikan pendidikan di sekolah ini adalah empat tahun,” Mulyono Atmosiswartoputra menjabarkan.

Alhasil, Rasuna Said tumbuh jadi pribadi yang progresif, radikal, dan pantang menyerah. Setelahnya, Rasuna Said dikenal aktif dalam perpolitikan di Sumatera Barat. Di samping membekali diri dengan ilmu agama, Rasuna Said terus mengasah kemampuan beretorika --pidato-- di podium. Lewat podium itulah pesan-pesan anti kolonialisme semakin menggema dalam hati segenap masyarakat Minangkabau.

Ratu podium

Kemampuan beretorika Rasuna Said perlahan-lahan semakin baik. Senapas dengan itu, Rasuna Said terlibat aktif dalam berbagai organisasi perjuangan. Awal perjuangannya dimulai saat Rasuna Said masuk ke dalam organisasi Sarekat Rakyat.

Kala itu Sarekat Rakyat jadi organisasi yang kesohor sebagai penghimpun kekuatan menentang Belanda di Minangkabau. Tak lama setelahnya, Rasuna Said duduk dalam susunan pengurus Sarekat Rakyat sebagai sekretaris. Sarekat Rakyat itu kemudian berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

“Kemampuan pidato Rasuna Said yang ia dapatkan dari gurunya, H. Udin Rahmani di Sumatra, (Sekolah) Thawalib, ternyata sangat membantu aktivitas propaganda politik partainya. Bila ia datang di suatu tempat, rakyat datang berbondong-bondong mendengarkan ceramah politiknya. Agen-agen PID (polisi rahasia Belanda) selalu mengincarnya dan mengikuti gerak-geriknya. Tak jarang di tengah pidatonya, Rasuna dipaksa berhenti dan diturunkan dari podium. Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda, ia dijuluki: singa betina,” Jajang Jahroni dalam buku Ulama Perempuan Indonesia (2002).

Dalam tiap pidatonya, pesan anti-kolonialisme selalu digaungkan Rasuna Said. Rasuna Said selalu mengutuk pemerintah kolonial yang membodohi dan memiskinkan rakyat Minangkabau. Kedua hal itu menjadikan rakyat Minangkabau sangat menderita atas penjajahan Belanda.

Rasuna Said (Sumber: Commons Wikimedia)

Seiring aktivitas itu, Rasuna Said mulai dianggap mengganggu oleh Belanda. Lebih lagi, pidato Rasuna Said kerap kali lebih tajam dan lebih bersemangat dibanding dengan narasi yang sama digelorakan oleh kaum laki-laki.

Pembungkaman coba dilakukan oleh pemerintah Belanda. Pada usia 23 tahun, Rasuna Said yang pernah menjadi guru sekolah menengah dengan seribu murid wanita, ditangkap oleh Belanda. Penangkapan Rasuna Said, sebagaimana yang diungkap Kontrolir Belanda Daniel van der Meulen dalam memoarnya, Hoort Gij die Donder Niet: Apa Anda tak dengar Bunyi Petir itu? (1977) bertujuan untuk meredam aktivitas wanita Minang itu.

Van der Meulen pun yang tiap malam bercakap-cakap di dalam sel Rasuna Said. Van der Meulen mencoba mencuci otak sembari membujuk Rasuna Said agar tak kembali terlibat dalam aktivitas politik.

"Rasuna, karena perbuatan Anda sendiri, Anda akan dihukum. Saya akan mengajukan hal-hal yang meringankan. Usia Anda masih muda, Anda berbakat pidato, wajah Anda elok, tetapi semua ini tidak akan mencegah penghukuman. Pakailah waktu untuk berpikir mengenai kegagalan-kegagalan Anda. Usahakan berbuat sesuatu yang baik, dan janganlah kembali ke jalan politik," demikian ujar Van der Meulen dikutip Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2004).

Pendirian Rasuna Said telah teguh. Bagi Rasuna Said, tak ada kompromi bagi kolonialisme. Ia lebih memilih dipenjara di Semarang daripada harus tunduk kepada Belanda. Rasuna Said baru bebas saat perang dunia kedua pecah pada 1939.

Di Zaman Jepang, Rasuna Said fokus menggelorakan semangat kaum bumiputra di Sumatra Barat. Baru setelah kemerdekaan Rasuna Said pindah ke Jawa. Setelahnya, Rasuna Said menjadi anggota parlemen RI dari tahun 1959-1965.

Di zaman modern, nama Rasuna Said dijadikan nama salah satu jalan protokol di Jakarta. Keberanian Rasuna Said telah dikenal. Ia masyhur sebagai sesosok wanita pemberani yang tak mau tunduk pada kolonialisme.

MEMORI Lainnya