Bagikan:

JAKARTA - Mikhail Gorbachev mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan negara Uni Soviet, setelah kematian Konstantin Chernenko. Gorbachev merupakan pemimpin terakhir Negara Komunis sebelum dinyatakan bubar. 

Pagi hari itu, 11 Maret 1985 tepat 36 tahun lalu, suara musik bernada minor mengawali siaran berita di radio dan televisi Uni Soviet seraya menyiarkan kabar tewasnya Chernenko. Ia wafat setelah menderita sakit yang cukup lama. 

Di hari yang sama pula Gorbachev dilantik sebagai penerus Chernenko. Cepatnya pergantian tampuk kepemempinan kepada seorang pria 54 tahun, pemuda termuda yang mengambil alih posisi sekretaris jenderal partai Komunis Soviet mengejutkan banyak orang.

Perubahaan tradisi tak hanya terjadi pada cepatnya pergantian kepemimpinan. Sebab tak lama setelah menjabat, Gorbachev membuat kebijakan yang cukup kontroversial: ia mengumumkan akan berunding terkait persenjataan dengan Amerika Serikat (AS) di Jenewa. 

Seperti diwartakan BBC, penunjukan Gorbachev menandai perubahan dramatis dalam kepemimpinan Moskow. Gorbachev dianggap sebagai sosok dinamis yang telah bergerak cepat melampaui hierarki Soviet. 

Dalam pidato kenegaraannya, Gorbachev memberikan sinyal tentang perubahan besar yang akan datang. Dia berbicara tentang keinginannya untuk membekukan pengembangan senjata dan mengurangi persediaan senjata nuklir internasional. Ia dianggap secara radikal telah mengubah arah kebijakan luar negeri Soviet. 

Dia memperkenalkan kebijakan keterbukaan atau "glasnost". Selain itu Gorbachev juga membuat kebijakan "perestroika" atau reformasi politik dan ekonomi yang mendasar.

Namun kebijakan reformisnya dianggap menjadi penyebab munculnya krisis ekonomi akut di dalam negeri. Bibit perpecahan pun muncul setelahnya, hingga akhirnya Uni Soviet bubar. Lantas apa sebetulnya yang membuat negara komunis tersebut bubar?

Bendera Uni Soviet (Sumber: Wikimedia Commons)

Bubarnya Uni Soviet

Russia Beyond mencatat ada tiga penyebab utama mengapa negara Soviet bubar. Pertama adalah karena masalah melemahnya ekonomi negara tersebut. 

Salah satu sektor penyokong ekonomi Uni Soviet berasal dari ekspor minyak. Ketika harga minyak turun, hal itu jelas sangat mempengaruhi perekonimian negara komunis tersebut. 

Jadi pada 13 September 1985, Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ahmed yamani, menyatakan negaranya keluar dari perjanjian pembatasan produksi minyak dan mulai menggenjot produksinya di pasar minyak. Setelah itu, Arab Saudi meningkatkan produksi minyak sebesar 5,5 kali lipat. Hal itu menyebabkan harga minyak dunia anjlok 6,1 kali lipat. 

Menteri Ekonomi Rusia Pyotr Aven mengatakan peristiwa itu menjadi titik balik ambrolnya perekonomian Soviet. “Itu adalah titik balik utama pada 1986. Ketika harga minyak jatuh, seluruh kemungkinan untuk menghasilkan pendapatan (untuk Uni Soviet) pun runtuh,” katanya kepada Russia Beyond

Sementara itu, turunnya harga minyak ternyata bertepatan dengan perlambatan ekonomi yang menurut Aven sudah dimulai pada 1960-an. Tren ini kemudian diperparah dengan penurunan pendapatan minyak, dan menyebabkan runtuhnya model ekonomi Soviet. 

Seiring melemahnya ekonomi Soviet, mendorong pemimpin Soviet saat itu Mikhail Gorbachev menggelar reformasi dengan menelurkan kebijakan yang cukup radikal yakni perestroika (pembangunan kembali). Perestroika mencoba mereformasi sistem Soviet, yang pada saat itu malah menunjukkan tanda-tanda penurunan. Reformasi ala Gorbachev ini juga disebut sebagai faktor kedua bubarnya Uni Soviet. 

Reformasi pertama Gorbachev, yang disebut "percepatan ekonomi", seharusnya melepaskan potensi "sosialisme modern". Namun Sosiolog Amerika kelahiran Soviet, Vladimir Shlapentokh menyebut reformasi ini dengan "neo-Stalinis" karena dilakukan dalam paradigma yang sama dengan kebijakan pendahulu Gorbachev yang kejam.

Kebijakan tersebut dinilai gagal mempercepat ekonomi Soviet, dan sebaliknya malah melemahkan negara. "Demi memodernisasi ekonomi, Gorbachev memulai proses demokratisasi radikal yang membuat kematian sistem Soviet dan negara menjadi tak terelakkan." 

Mikhail Gorbachev (Sumber: Wikimedia Commons)

Peningkatan kekerasan

Selain itu pada akhir 1980-an, dalam masa Perestroika juga terjadi peningkatan kekerasan yang disebabkan persaingan antar etnis di republik-republik Soviet. Hal itu juga digadang-gadang sebagai faktor ketiga runtuhnya Soviet. 

Misalnya kekerasan etnis yang terjadi pada 1986 di ibu kota Kazakhstan, Almaty. Saat itu, pemuda Kazakh tak puas dengan pengangkatan kepala republik mereka yang merupakan seorang beretnis Rusia. Demonstrasi tersebut kemudian menyebabkan kerusuhan.  

Selain itu terjadi juga pembunuhan besar-besaran di kota Sumgait, Azerbaijan, dan aksi kekerasan di Tbilisi, Baku, dan tempat-tempat lain di seluruh negeri. Konflik paling berdarah terjadi di Karabakh antara Azerbaijan dan Armenia, yang kadang-kadang disebut sebagai “salah satu pemicu politis utama yang mengawali disintegrasi Uni Soviet”. Pada akhir 1980-an, konflik etnis berubah menjadi mematikan, menewaskan ratusan orang dalam pertempuran. 

Buruknya kinera ekonomi dan maraknya konflik horizontal tak dapat diatasi oleh pemerintah Gorbachev pada waktu itu. Karena semakin tak terkendali akhirnya pada tanggal 25 Desember 1991, Mikhail Gorbachev mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden Soviet. Di Kremlin, bendera Soviet diturunkan untuk terakhir kalinya.

"Perpecahan dalam masyarakat dan perjuangan di negara seperti kami yang sarat akan persenjataan, termasuk nuklir, bisa mengakibatkan kematian banyak orang dan kehancuran. Saya tidak bisa membiarkan hal itu terjadi hanya untuk bertahan di kekuasaan. Mengundurkan diri merupakan kemenangan saya," kenang Gorbachev seperti dikutip BBC.

Keesokan harinya, pada 26 Desember 1991 Uni Soviet resmi bubar dengan ditandai pengambilalihan kantor-kantor Uni Soviet oleh pemerintahan Rusia.