Bagikan:

JAKARTA - Ali Sadikin adalah figur pemimpin progresif. Di tangannya, Jakarta memercantik diri. Gubernur Jakarta yang menjabat sedari 1966-1977 melakukan banyak pembenahan, termasuk soal permukiman. Ada yang khas dari sikap Ali Sadikin. Dibanding menyediakan rumah murah, ia lebih memilih memerbaiki kampung-kampung di Jakarta.

Program pembenahan kampung itu dinamai Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT). Upaya Ali Sadikin itu banyak manfaatnya. Dari kesehatan, kebersihan, hingga peningkatan ekonomi. Proyek MTH kemudian jadi perwujudan sebenarnya dari kalimat: bahagia warganya, maju kotanya.

Awal mula proyek perbaikan kampung adalah ide dari anggota Dewan Kota Jakarta, M.H Thamrin pada 1920-an. Thamrin yang juga tokoh pergerakan nasional meminta pemerintah kolonial lebih memedulikan kampung-kampung kumuh di Batavia (Jakarta).

Ali Sadikin berpikir, jika kampung-kampung Jakarta tak diperbaiki, Batavia terancam bahaya banjir dan penyakit. Untuk itu, proyek yang bernama Kampung Verbetering dianggap Thamrin sebagai jawaban. Memang, kondisi kampung-kampung Batavia saat itu cukup mengenaskan.

Banyak rumah tinggal tak layak. Ada yang terbuat dari bambu, gedek, atau papan. Belum lagi, perihal letaknya yang tak beraturan. Kesan kampung sebagai biang penyakit berbahaya pun muncul ke permukaan. Persoalan ini melebar ke masalah sosial. Timbul kesenjangan antara kampung-kampung kaum bumiputra dengan ragam bangunan yang dimiliki oleh pemerintahan Batavia.

"Batavia masih tetap seperti lukisan dengan pigura bagus, dihiasi dengan villa yang luas dengan jalan lebar, sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga," celoteh Thamrin.

Perkampungan di Batavia (Sumber: Leiden University)

Ide Thamrin disetujui pemerintah Belanda. Persetujuan itu jadi momentum kali pertama Belanda memedulikan permasalahan kampung kaum bumiputra. Program perbaikan kampung itu kemudian membantu ratusan ribu orang mendapat kehidupan yang nyaman.

Masalah sampah dan sanitasi buruk jadi fokus utama usulan Thamrin untuk dibenahi. Tercatat pula Thamrin mengusulkan anggaran ke pemerintah Kota Batavia hingga menyentuh 100 ribu gulden. Uang tersebut dipergunakan sepenuhnya untuk perbaikan dan memperkerjakan seratus kuli.

“Ia menyarankan memerbaiki pengelolaan distribusi beras, mengadakan fasilitas drainase yang layak, serta pasokan air bersih ke kampung-kampung,” tulis Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin (2003).

Digagas Thamrin, dilanjutkan Ali Sadikin

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (Sumber: Commons Wikimedia)

Setelah Indonesia merdeka, program perbaikan kampung di Jakarta tak dilanjutkan. Kalaupun ada, perbaikan hanya dalam skala kecil. Kebanyakan pemimpin Jakarta pada awal-awal kemerdekaan malah berlomba-lomba menyediakan pemukiman murah dibanding mengurus kampung-kampung kumuh.

Hal itu tak dilanjutkan saat Ali Sadikin memimpin Jakarta. Ali Sadikin ogah membangun rumah-rumah murah. Dirinya lebih tertarik melakukan perbaikan kampung, seperti yang pernah dilakukan oleh M.H Thamrin.

Upaya itu dilakukan karena Ali Sadikin menyadari tugasnya adalah mengayomi rakyat, dari mereka lahir hingga meninggal. Ali Sadikin, yang diketahui senang blusukan ke kampung-kampung mendapati banyak sekali perkampungan yang kondisinya mengenaskan.

Suasana perkampungan Batavia (Sumber: Commons Wikimedia)

Seketika, Ali Sadikin teringat momentum ketika dirinya masih jadi siswa sekolah pelayaran, yang di Sabtu-Minggu sering berkunjung ke rumah pamannya di Bukit Duri, Jatinegara. Di situ Ali Sadikin melihat kampung yang bersih dengan jalanan yang bagus. Lewat gambaran itu Ali Sadikin kemudian berhasrat memulai proyek perbaikan kampung.

“Lalu saya pergi ke Bappenas. Saya mengharapkan dukungannya. Tapi waktu bicara dengan pimpinan Bappenas, Wijoyo Nitisastro, saya merasa gagasan saya ditolak karena perbaikan kampung bukan prioritas bagi mereka. Mereka seperti tidak melihat perbaikan kampung akan mendatangkan uang. Mereka melihat dari sudut ekonomi. Saya kecewa,” cerita Ali Sadikin dikutip Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

Kekecewaan Ali Sadikin mendasar. Perbaikan kampung, kata Ali Sadikin seharusnya jadi prioritas utama. Secara asas manfaat, perbaikan kampung lebih banyak. Utamanya terkait peningkatan kesehatan dan kebersihan Jakarta sebagai kota metropolitan.

Dengan demikian, manfaat ekonomi akan menyusul setelahnya. Alhasil, Ali Sadikin mulai mencari jalan lain. Rencananya kemudian dikemukakan langsung di depan DPRD DKI Jakarta. Rencana Ali Sadikin dimengerti sengenap wakil rakyat. Langsung saja, perbaikan kampung masuk ke dalam enam proyek vital DKI Jakarta.

Suasana perkampungan di Batavia (Sumber: Commons Wikimedia)

Proyek itu berjalan mulai tahun 1968 hingga 1970-an. Awalnya kampung yang menjadi fokus utama justru kampung di daerah Jakarta lama --sekarang kawasan Kota Tua. Akan tetapi, segera diubah. Ali memfokuskan ke daerah kampung yang paling jelek, dalam artian kampung tersebut jauh dari layak.

Tidak ada jalan, air bersih sukar, dan tempat mandi-cuci-kakus (MCK) masih jarang. Lantaran itu, selama Pelita I, kampung-kampung yang diperbaiki mencapai 87 kampung. Umumnya, perbaikan kampung dilakukan pada kampung-kampung yang dibangun sebelum tahun 1956.

“Dengan telah diperbaiki kampung itu ternyata mendorong usaha penduduk untuk memperbaiki rumah-rumah mereka. Sehingga program ini mempunyai hasil ganda terhadap perbaikan lingkungan secara keseluruhan. Dalam perhitungan cost & benefit yang dilakukan oleh team konsultan Bank Dunia, cost benefit ratio jauh melebihi daripada satu,” imbuh Ali Sadikin dalam bukunya, Gita Jaya (1977).

Penuh kritikan dan kurang dana

Kendati demikian, proyek perbaikan kampung juga tak luput dari kritik dan kurangnya dana. Salah satu kritikan mengungkap proyek tersebut hanya berfokus pada mempercantik kampung semata, bukan meningkatkan taraf hidup warga Jakarta.

Ali Sadikin menepis anggapan itu. Menurutnya, perbaikan kampung lebih luas dari itu, meliputi perbaikan jalan untuk orang dan kendaraan, pembuatan jembatan, pembuatan saluran pembuangan, rehabilitasi, membangun dan memperbaiki MCK, membangun sekolah, puskesmas, hingga memberikan warga Jakarta edukasi menjaga lingkungan.

Perihal kekurangan dana, Ali Sadikin tak ambil pusing sekalipun kas pemerintah DKI Jakarta tidak mampu membiayai proyek perbaikan kampung. Ada pun dana yang pinjamkan Bank Dunia hanya separuh dari total yang dibutuhkan untuk melanggengkan proyek perbaikan kampung. Supaya dapat menyentuh banyak kampung, Ali Sadikin menggenjot pendanaan dari judi dan hiburan malam.

“Dan buntutnya dari segi uang pembiayaan tak pernah sepi dari gugatan,” tertulis dalam laporan Majalah Ekspres, 5 April 1971.

MEMORI Lainnya