Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 46 tahun yang lalu, 10 Februari 1977, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin mengultimatum Wali Kota Jakarta Pusat dan Jakarta Barat untuk menertibkan bantaran Sungai Cideng dan kanal banjir dari bangunan liar. Opsi mengusur bangunan liar dilakukan untuk mencegah banjir dan memperindah Jakarta.

Sebelumnya, Ali Sadikin dikenal sebagai sosok yang getol mempercantik Jakarta. Ia mampu menggelorakan proyek perbaikan kampung-kampung kumuh. Tujuannya supaya Jakarta tak kumuh, modern, dan terhindar dari banjir.

Fase awal kepemimpinan Ali Sadikin penuh dinamika. Ia melihat sendiri bagaimana Jakarta yang notabene Ibu Kota Indonesia memiliki banyak kampung kumuh. Baginya, pemandangan itu buat citra Jakarta sebagai mercusuar peradaban bangsa jadi rusak.

Jakarta tak ubahnya sebagai biang penyakit. Ia pun melanggengkan gebrakan. Perbaikan kampung jadi ajiannya. Proyek itu dinamakan Ali Sadikin sebagai Proyek M.H. Thamrin. Sebab, insiatif perbaikan kampung awalnya muncul dari tokoh sekaligus pejuang Betawi, Thamrin.

Ali Sadikin menyakini perbaikan kampung dapat mendatangkan peningkatan kesehatan dan kebersihan Jakarta. Apalagi agenda itu dapat mengurangi dampak banjir. Proyek itu dijalankan dari 1968 hingga 1970-an. Kampung dengan kategori tak layak jadi prioritas perbaikan.

Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin. (Perpusnas) 

Hasilnya memuaskan. Banyak fasilitas dan sarana yang dibangun untuk kampung-kampung di Jakarta. Sekalipun awalnya ide perbaikan kampung tak didukung banyak pihak. Namun, karena hasilnya memikat upaya itu mendatangkan dukungan dari banyak pihak.

“Dengan telah diperbaiki kampung itu ternyata mendorong usaha penduduk untuk memperbaiki rumah-rumah mereka. Sehingga program ini mempunyai hasil ganda terhadap perbaikan lingkungan secara keseluruhan. Dalam perhitungan cost & benefit yang dilakukan oleh team konsultan Bank Dunia, cost benefit ratio jauh melebihi daripada satu,” imbuh Ali Sadikin dalam buku Gita Jaya (1977).

Proyek perbaikan tak melulu ditargetkan kepada kampung-kampung. Bangunan liar yang ada dibantaran kali ikut ditertibkan. Semuanya untuk memuluskan upaya menghilangkan kekumuhan Jakarta dan memperlebar aliran sungai.

Sebagai bentuk keseriusan, Ali Sadikin pun mengeluarkan keputusan untuk mengatur masalah ketertiban bantaran sungai pada 1976. Penggusuran bangunan liar jadi ajian pemerintah Jakarta. Instruksi itu dikuatkan pula dengan ultimatum yang dilayangkan Ali Sadikin kepada Wali Kota Jakarta Pusat dan Jakarta Barat untuk menertibkan bangunan liar di Sungai Cideng dan kanal banjir pada 10 Februari 1977.

Isinya Ali Sadikin meminta bawahannya untuk segera membereskan perihal bangunan liar di bantaran kali masing-masing wilayah. Semua itu untuk mendukung kebijakannya menciptakan Jakarta sebagai Kota Metropolitan. Lebih lagi, supaya Jakarta tak kalah dengan kota-kota besar di negara tetangga.

Salah satu sisi kumuh Jakarta, bangunan-bangunan di bantaran saluran air dan sungai. (Istimewa)

“Satu di antara wilayah tersebut adalah kawasan bantaran sungai di tepi kiri dan kanan Sungai Ciliwung-kanal banjir dan dari pintu air Manggarai sampai pintu air Kapitol wilayah Jakarta Pusat dan pintu air Manggarai sampai dengan jembatan Haji Ling di wilayah Jakarta Kota dan Jakarta Barat. Di wilayah ini, yang panjangnya 2,4 kilometer, pada tahun 1976 diadakan penggusuran bangunan, yang diperkirakan dihuni 37.500 kepala keluarga.”

“Ali Sadikin juga menginstruksikan kepada Wali Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat untuk selambat lambatnya pada 10 Februari 1977 membersihkan pinggiran Sungai Cideng dan kanal banjir dari bangunan liar. Namun, karena normalisasi sungai kurang sempurna, air masih merembes ke perkampungan,” terang Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010).