Sejarah Hari Pers Nasional: Perayaan yang Lahir di Tengah Hobi Orba Memberedel Media Massa
Monumen Pers Nasional di Solo, Jawa Tengah. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Soeharto dan Orde Baru (Orba) doyan melakukan apa saja untuk merawat citra positif. Mereka yakin citra positif Orba dapat menjaga stabilitas nasional. Sedang citra buruk dianggapnya sebagai perusak ketentraman. Pemberedelan dan kontrol media massa jadi ajiannya.

Segenap media massa nasional yang membawa narasi buruk Soeharto atau Orba dihukum. Tiada yang dapat lepas. Hobi memberedel media sudah jadi semacam ciri khas Orba. Sekalipun ide penyelenggaraan Hari Pers Nasional sedang digodok.

Nasib dunia pers Indonesia bak mendapatkan angin segar di masa pemerintahan Soeharto dan Orba. Semua itu karena di masa Orde Lama kebebasan pers adalah hal mustahil. Soeharto pun bertindak mengambil peran penting sebagai media darling.

Ia dielu-elukan dapat membawa Indonesia ke arah lebih baik dan menjaga kebebasan pers. Nyatanya, jauh panggang dari api. Orba hanya menyediakan satu ruang saja untuk pemberitaan. Citra positif, namanya. Segala macam citra buruk terkait Orba takkan diterima.

Presiden Soeharto resmi membuka Kongres PWI ke-16 di Padang, Sumatra Barat, 4 Desember 1978. (Perpusnas)

Pemerintah Orba pun melanggengkan pemberedelan dan kontrol media. Semuanya untuk merawat citra positif Orba. Demi menjaga stabilitas nasional, katanya. Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pun diberi tugas untuk melakukan kontrol media massa. Barang siapa yang membawa ‘warna’ negatif terkait pemerintah akan ditindak tegas dengan pemberedelan.

Upaya itu diperlihatkan secara nyata oleh Orba pada Januari 1978. Empunya kuasa sampai melanggengkan pemberedelan kepada tujuh media massa nasional. Antara lain Majalah Tempo, Harian Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi.

“Ketika itu yang jadi isu unjuk rasa mahasiswa adalah seputar kebijakan pembangunan pemerintah, khususnya perihal keterlibatan investor asing, pengusaha-pengusaha keturunan China dan pejabat pemerintah. Yang jadi target khusus kritik di masa itu adalah keluarga presiden. Sampai-sampai saat itu muncul seruan kepada presiden agar turun takhta.”

“Gelombang ini berlangsung merata di sederatan kampus ternama. Hal ini, sekali lagi, jadi santapan pers termasuk yang paling moderat sekalipun. Pada bulan Januari 1978, Kopkamtib menanggapi aksi tersebut dengan memberangus seluruh dewan senat mahasiswa yang ada, mencabut izin tujuh surat kabar Jakarta dan tujuh pers mahasiswa,” ungkap David T. Hill dalam buku Pers di Masa Orde Baru (2011).

Di Balik Inisasi Hari Pers Nasional

Deretan pemberedelan itu jadi kado buruk perayaan Hari Ulang Tahun, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-32 di Solo pada 9 Februari 1978. Presiden Soeharto yang juga baru meresmikan Monumen Pers di acara yang sama menganggap media massa di Indonesia belakangan hampir tak terkendali. Alhasil, pemerintah mengambil tindakan tegas dengan melakukan pemberedelan.

Upaya itu supaya media massa yang ada tetap berpatokan untuk melanggengkan upaya bebas tapi bertanggung jawab. Soeharto pun memberikan peringatan keras kepada media yang tetap melanggengkan kritik terhadap pemerintah.

Soeharto dan Orba akan mengambil tindakan tegas untuk menertibkan hal itu. Baginya, pers harus mawas diri. Pers harus tahu mana isu yang dapat mengganggu stabilitas nasional dan mana isu yang dapat menjaga stabilitas nasional. Pesan itu disampaikannya untuk menjadi pedoman kepada seluruh pimpinan redaksi media massa di Indonesia.

Selanjutnya, di tengah hobi pemerintah yang suka memberedel media massa, PWI menggodok kelahiran dari perayaan Hari Pers Nasional. usulan itu di utarakan pada Kongres PWI yang ke-16 di Kota Padang, Sumatra Barat, 4-7 Desember 1978.

Presiden Soeharto dalam momen buka puasa bersama wartawan pada tahun 1967. (Perpusnas)

Bahkan, Hari Pers Nasional jadi salah satu point penting keputusan kongres PWI ke-16 yang kemudian ditindak lanjuti pemerintah Orba lewat Kepres No 5 Tahun 1985. Karenanya, Hari Pers Nasional resmi dirayakan tiap tanggal 9 Februari sejak 1985, yang notabene adalah hari kelahiran PWI.

"Sampai menjelang akhir bulan Januari 1978, kebebasan pers telah berkembang hampir-hampir tanpa kendali. Kondisi ini mendekatkan bahaya terhadap kemantapan stabilitas nasional yang dinamis. Apabila hal itu sedikit lagi dibiarkan berkembang, maka nyaris membawa bahaya bagi keselamatan bangsa dan negara.”

“Sungguh tidak menyenangkan bagi pemerintah untuk melarang sementara penerbitan sejumlah media. Tetapi di sini kita tidak dihadapkan pada pilihan senang tidak senang, tetapi satu-satunya pilihan demi keselamatan bangsa dan negara, serta kepentingan untuk mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab," ungkap Soeharto dalam HUT PWI ke-32 sebagaimana dikutip St. Sularto dalam buku Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama (2011).