Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 33 tahun yang lalu, 8 September 1990, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolkam), Sudomo menyebut ajian Orba memberedel pers untuk mendidik. Ia mengungkap hal itu dalam wawancaranya yang ditayangkan Majalah Tempo.

Sudomo justru meminta pers harusnya lebih berani, tak perlu takut kena beredel. Sebelumnya, pemerintah Orba kerap campur tangan untuk melangengkan kontrol terhadap media massa. Empunya kuasa tak ingin Orba diwartakan miring.

Merawat citra adalah segalanya bagi Orba. Citra positif itu dianggapnya mampu membuat stabilitas nasional terjaga. Narasi itu diwujudkan dengan hadirnya Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkambtib). Lembaga itu diberikan tugas khusus untuk melanggengkan kontrol media massa.

Karenanya, urusan kebebasan pers adalah keinginan yang tak kunjung jadi nyata di Indonesia. Empunya kuasa tak pernah mau Orba dicap buruk. Orba bak hanya mau diberitakan dalam satu kondisi: berisi citra positif.

Barang siapa yang menolak titah Orba, siap-siap kena getahnya. Orba akan melakukan kontrol media dan pemberedelan. Upaya itu secara nyata dipertontonkan pada era 1970-an.

Kerusuhan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 15 Januari 1974 menyebabkan 12 media massa di Indonesia dibredel karena memberitakan peristiwa tersebut. (Wikimedia Commons)

Orba melakukan pemberendelan kepada tujuh media nasional. Antara lain Majalah Tempo, Harian Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi. Aksi pembredelan itu semakin menunjukkan borok pemerintah Orba.

Suatu borok yang menegaskan bahwa pemerintah tengah bersikap represif. Pemerintah ogah kalah. Sikap itu dianggap perlu dilanggengkan karena pers ‘mulai’ tak terkendali. Banyak berita yang dimuat dianggap menyesatkan oleh Orba. Alih-alih membuat Indonesia berkembang, berita yang ada justru mengganggu stabilitas nasional.

"Sampai menjelang akhir bulan Januari 1978, kebebasan pers telah berkembang hampir-hampir tanpa kendali. Kondisi ini mendekatkan bahaya terhadap kemantapan stabilitas nasional yang dinamis. Apabila hal itu sedikit lagi dibiarkan berkembang, maka nyaris membawa bahaya bagi keselamatan bangsa dan negara.”

“Sungguh tidak menyenangkan bagi pemerintah untuk melarang sementara penerbitan sejumlah media. Tetapi di sini kita tidak dihadapkan pada pilihan senang tidak senang, tetapi satu-satunya pilihan demi keselamatan bangsa dan negara, serta kepentingan untuk mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab," ungkap Soeharto dalam HUT PWI ke-32 pada 1978 sebagaimana dikutip St. Sularto dalam buku Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama (2011).

Narasi pemerintah Orba doyan beredel media massa pun mengemuka. Banyak media massa massa, utamanya media cetak yang tak mau berurusan dengan Orba. Kondisi itu membuat pers hanya memuat berita baik-baik terkait Orba.

Halaman pertama Harian Kompas terbitan 30 Oktober 1967 yang memberitakan pemberedelan sembilan media di Indonesia. (Dok. Kompas) 

Menkopolkam Sudomo pun menyadari hal itu. Namun, ia punya pandangan lain. Sudomo menganggap pers justru kurang berani. Sudomo mengganggap siasat pemerintah untuk melanggengkan kontrol media dengan sensor di mana-mana sudah usang.

Ia pun ingin media massa kembali melemparkan kritik kepada pemerintah. Kalaupun pemberedelan dilakukan, maka upaya itu hanya lingkup mendidik, bukan menghukum. Penyataan itu diungkapnya dalam wawancara yang diterbitkan Majalah Tempo, 8 September 1990.   

 “Pers kita kurang berani. Asal berdasarkan fakta-fakta dan analisa yang tajam, ya, boleh saja suatu peristiwa ditulis. Masalah komunikasi itu penting. Malah dengan keterbukaan itu, kan lebih mudah mencari informasi, wong pers kita baik-baik, kok. Selama kita tak berniat menjatuhkan pemerintah, jangan takut. Mengenai pemberedelan, kan sekarang tak ada Kopkamtib.”

“Dulu itu (kalau ada pemberedelan) cuma mendidik sifatnya. Paling-paling setelah dua minggu izin terbitnya sudah diberikan lagi. Karena stabilitas kita, budaya sensor dan budaya telepon terhadap media massa yang sudah usang, harus dihilangkan sesuai dengan trilogi pembangunan: dinamis, mantap, dan aman. Orang tak perlu takut lagi menyampaikan pendapat. Kalau takut, ya stabilitas semu namanya. Enggak ada orang ditangkap karena ngomong. Motto saya adalah kekuatan untuk persuasi dan persuasi untuk kekuatan,” terang Soedomo sebagaimana dikutip Andy Reza Rohadian dan Bambang Sujatmoko laporan Majalah Tempo berjudul Pers Kita Kurang Berani (1990).