Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 15 tahun yang lalu, 4 September 2008, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendaftarkan batik untuk mendapatkan status Warisan Budaya Takbenda ke UNESCO. Pendaftaran itu dilakukan karena batik jadi salah satu identitas budaya Indonesia.

Sebelumnya, batik kesohor sebagai pakian nasional Indonesia bermula pada era 1970-an. Ada nama Ali Sadikin di baliknya. Gubernur DKI Jakarta era 1966-1977 itu membuktikan bahwa orang dapat tampil keren dan percaya diri dengan Batik.

Pengusaha era Orba, Abdul Latief pernah menegur Ali Sadikin yang bangga mengenakan dengan kemaja barong tagalong Filipina pada 1967. Abdul Latief menanyakan Ali kepada tak mengenakan pakaian ala Indonesia saja. Sontak Ali menjawab dengan berkelakar, apa ia harus pakai sarung supaya terlihat bak nasionalis.

Jawaban Ali menyiratkan makna bahwa perihal pakaian nasional Indonesia untuk pria belum dikenal – jika tak dapat dikatakan belum ada. Abdul Latief tak lelah. Ia menawarkan Ali untuk mengenakan batik. Namun, Ali kembali berkelakar bahwa pakaian itu telah identik dengan kaum wanita, bukan kaum pria.

Diskusi pun berjalan alot, hingga akhirnya Ali setuju mencoba mengenakan batik di muka umum. Abdul Latief lalu ditantang Ali untuk membuat batik yang dapat dikenakannya dalam hajatan resmi. Tantangan itu diterimanya.

Gubernur DKI Jakarta era 1966-1977, Ali Sadikin yang mengenakan batik dalam hajatan resmi. (Perpusnas)

Abdul Latief kemudian meminta Saridjah Niung Bintang Soedibio, yang populer dengan panggilan lbu Sud, membuat batik khusus untuk Ali. Nyatanya, Ali senang dengan batik buatan Ibu Sud. Ke mana-mana Ali selalu mengenakan batik dalam tiap hajatan resmi pemerintah DKI Jakarta.

Ali bak duta batik. Alhasil, Ali mengumumkan bahwa batik diangkat sebagai pakaian utama dalam tiap hajatan resmi pemerintah DKI Jakarta. Semenjak itu sorotan kamera kepada Ali membuat popularitas batik sebagai pakaian nasional dikenal di seantero negeri. Geliat industri batik jadi bergairah. Permintaan akan batik muncul di mana-mana.

“Demi menjaga eksistensi batik, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 14 Juli 1972 menetapkan batik sebagai pakaian resmi untuk pria di wilayah DKI Jakarta. Ketetapan ini diambil sebagai usaha nyata untuk mendorong industri batik. Ali Sadikin berucap: batik itu khas dan tradisional pakaian nasional.”

“Batik kemudian menjadi pakaian resmi secara nasional, antara lain dengan dipakainya batik oleh pegawai Istana Negara pada acara Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1972. Setahun kemudian, pada 1973, Bang Ali menetapkan batik sebagai salah satu pakaian seragam pelajar di Jakarta," tutup Chris Pujiastuti dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul Bang Ali dan Demam Batik (2017).

Keputusan Ali mengenalkan batik nyatanya memiliki pengaruh besar. Batik kemudian menjelma sebagai pakaian nasional Indonesia. Saban hari pakaian batik populer sebagai pakaian nasional Indonesia yang dikenakan dalam tiap hajatan resmi. Bahkan, dari level pemerintah daerah hingga pemerintah pusat.

Keputusan paling menentukan terkait batik pun muncul pada era pemerintahan Presiden SBY. Pemerintah lewat kantor Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) mendaftarkan batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Takbenda ke badan PBB urusan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan, UNESCO pada 4 September 2008.

“Perjalanan di balik penetapan Hari Batik Nasional bukanlah peristiwa yang sederhana. Pada 4 September 2008, pemerintahan Presiden SBY mendaftarkan batik untuk mendapatkan status ICHI (Warisan Budaya Takbenda) melalui kantor UNESCO yang ada di Jakarta.”

“Pendaftaran dilakukan oleh Menko Kesra mewakili pemerintah dan komunitas batik Indonesia ICH (Intangible Cultural Heritage) adalah praktik, respresentasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, serta instrumen, objek, artefak, dan ruang budaya yang dianggap oleh UNESCO sebagai bagian dari warisan budaya suatu tempat. Berbagai warisan budaya tersebut biasa disebut juga dengan warisan budaya takbenda,’ terang Dodi Mawardi dalam buku Kebanggaan Indonesia Batik Menjadi Warisan Dunia (2021).