JAKARTA – Sejarah hari ini, 104 tahun yang lalu, 1 September 1919, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johan Paul van Limburg Stirum meminta jajarannya bertindak tegas kepada gerakan kaum bumipitra yang berisik. Keinginan itu dilanggengkan untuk mengantisipasi api pemberontakan.
Sebelumnya, kaum bumiputra terpelajar kerap menjadi ancaman bagi Belanda. Mereka banyak membawa ide-ide melepaskan belenggu penjajahan. Ajian itu terus langgeng hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda merasa terancam.
Kuasa Belanda melanggengkan penjajahan di Nusantara dapat protes dari sana sini. Empunya kuasa dianggap terlampau lama menjajah dan menyengsarakan kaum bumiputra. Belanda kemudian diminta peduli terhadap hajat hidup bumiputra.
Keinginan itu kemudian terwujud lewat kebijakan Politik Etis. Kebijakan itu menekankan penjajah untuk turut berpartisipasi meningkatkan hajat hidup seisi Nusantara. Ruang kaum bumiputra untuk bersekolah kemudian dibuka lebar.
Semua itu dilanggengkan dengan harapan kaum bumiputra mudah dikontrol. Nyatanya, jauh panggang dari api. Pendidikan malah jadi pemantik kaum bumiputra bertindak melawan penjajah Belanda. Kesadaran kaum bumiputra mewujudkan cita-cita bangsa merdeka mengemuka.
Pelopor kebangkitan nasional pun muncul dari kalangan pemuda terpelajar. Sekolah-sekolah tinggi yang ada di Hindia Belanda jadi Rahim perjuangan. Sekolah Tinggi Dokter Bumiputra, STOVIA, misalnya. STOVIA banyak menghasilkan pejuang kemerdekaan Indonesia.
Mahasiswa STOVIA lalu melahirkan organisasi Budi Utomo dan juga Indische Partij (Partai Hindia). Pergerakan itu kerap membuat repot Belanda. Kritik dan ajiannya mampu membakar semangat kaum bumiputra. Laku hidup itu membuat Belanda berang. Mereka yang melawan dicap sebagai pemberontak.
“Pada tahun 1911, suatu partai politik yang bernama Indische Partij didirikan oleh seorang Indo-Eropa yang radikal bernama Ernest Douwes Dekker, seorang keluarga jauh Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Partai ini mempermaklumkan suatu nasionalisme 'Hindia' dan menuntut kemerdekaan.”
“Dua orang Jawa yang terkemuka, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (kemudian disebut Ki Hadjar Dewantara, bergabung dengan Douwes Dekker. Pemerintah tidak mau mengakui partai ini. Pada tahun 1913, ketiga pemimpin tersebut diasingkan ke negeri Belanda,” ungkap Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Pergerakan pejuang kemerdekaan terpelajar kian masif. Belanda pun memilih untuk melanggengkan gebrakan. Empunya kuasa tak ingin lagi pejuang kemerdekaan --yang dalam bahasa penjajah dianggap pemberontak-- terus mengganggu eksistensi mereka di Hindia Belanda.
Narasi itu membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johan Paul van Limburg Stirum mengajak jajarannya untuk bertindak tegas kepada pemberontak yang notabene pejuang kemerdekaan. Ia tak ingin pemberontak terus merajalela.
BACA JUGA:
Gebrakan tokoh bangsa menyebarkan ide-ide kemerdekaan harus dihentikan. Pesan itu di utarakan langsung Limburg Stirum pada di depan Volksraad (semacam DPR era kekinian) pada 1 September 1919. Ia meminta pihak keamanan untuk menangkap pejuang-pejuang yang berisik.
“Supaya dapat mengetahui secara lebih pasti dari yang (kita ketahui) sekarang maka bagaimana gerakan revolusioner yang luas mengendalikan berbagai macam perkumpulan telah terjadi. Apa pengaruh (revolusioner) ini terhadap penduduk, bahaya apa yang bakal mengancam negara, rakyat, dan akhirnya otoritas.”
“Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengumumkan dalam pembukaannya di Volksraad pada tanggal 1 September 1919, di mana gerakan yang melampaui batas akan ditindak tegas. Pada bulan yang sama, ia memutuskan pengelolaan lahan polisi sebagai alat penindasan ekses-ekses lokal, dan menciptakan Biro Penyelidikan Umum (algemeene recherchedienst) dengan memfungsikan jaksa agung,” terang Takashi Shiraishi dalam buku Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2015).