Bagikan:

JAKARTA - Pejuang kemerdekaan, Soekarno dan Hatta kerap memantik semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Upaya itu dilakukan keduanya dari mimbar ke mimbar. Tiada kata lelah untuk itu. Hasilnya gemilang. Kesadaran akan kemerdekaan kaum bumiputra meningkat.

Penjajah Belanda geram bukan main. Empunya kuasa meminta keduanya tak usah banyak omong. Belanda menilai omongan Soekarno-Hatta berbahaya bagi eksistensi penjajahan. Ancaman pun dilanggengkan. Penjara dan pengasingan jadi ajian.

Eksistensi penjajah Belanda di Nusantara berlangsung dalam waktu yang lama. Mereka bersedia melakukan apa saja untuk melanggengkan kuasanya. Apalagi tiap ada letupan perlawanan, pemerintah kolonial Hindia Belanda kerap punya ajian.

Namun, bukan berarti Belanda tak punya rasa takut. Boleh jadi satu-satunya hal yang membuat rasa takut mereka memuncak adalah kesadaran kaum bumiputra akan kemerdekaan. Narasi itu jadi ancaman besar bagi eksistensi penjajahan Belanda. Utamanya karena kesadaran itu banyak melahirkan pejuang kemerdekaan.

Soekarno, salah satunya. Nyala api perjuangan kemerdekaan telah dilakoninya semenjak jadi mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini: Institut Teknologi Bandung). Ia aktif bersama pejuang lainnya untuk menyebarkan semangat lepas dari belenggu penjajahan.

Pejuang Kemerdekaan, Soekarno dan Mohammad Hatta yang kemudian dikenal sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia. (ANRI)

Penjajahan di muka bumi harus dihapuskan, katanya. Ia yang dianggap Belanda radikal pun mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai kendaraan politik pada 1927. Semenjak itu ia turut serta bersafari ke ragam wilayah, dari mimbar ke mimbar.

Tujuannya tak lain untuk membakar semangat kaum bumiputra. Pergerakan itu membuat Belanda kesal bukan main. Mereka meminta Bung Karno tak usah banyak omong. Namun, Bung Karno tak mengindahkan sedikit pun maksud Belanda.

Suaranya kemudian diredam dengan hukuman Penjara. Penjara Banceuy dan Penjara Sukamiskin. Setelahnya ia yang sudah bebas kembali ditangkap pada 1933. Akan tetapi, ia tak lagi dipenjara dalam waktu yang lama. Belanda lebih menghendaki Bung Karno diasingkan ke Ende, kemudian Bengkulu. Semuanya supaya Bung Karno tak berisik.

“Tepat delapan bulan sampai kepada hari‐harinya aku sudah berada lagi dalam tahanan. Penahanan kembali ini tidak disebabkan oleh satu kejadian yang khusus. Kesalahanku cuma oleh karena aku tidak menutup mulutku yang besar sebagaimana mereka harapkan setelah aku keluar dari penjara.”

“Komisaris itu membelebab kepadaku: Tuan Sukarno, tuan tidak bisa berubah. Tidak ada harapan tingkah laku tuan bisa baik lagi. Menurut catatan kami, tuan hanya beberapa jam saja sebagai orang bebas ketika tuan naik kereta api menuju Surabaya, lalu tuan kembali bikin kacau lagi dan sejak waktu itu tidak berhenti‐henti bikin ribut. Jadi jelas sekarang bagi Pemerintah Sri Ratu bahwa tuan senantiasa menjadi pengacau,” tegas Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2008).

Bung Hatta Terus Berisik

Hukuman penjara dan pengasingan yang diberikan Belanda kepada Soekarno didasari isi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana era tersebut. Barang siapa yang kedapatan mengeluarkan perasaan kebencian atau permusuhan secara tertulis maupun lisan kepada Belanda, maka dapat dikenakan hukuman yang tinggi.

Belanda berharap ada efek jera dari pengasingan Bung Karno. Nyatanya, jauh panggang dari api. Nyali pejuang kemerdekaan lainnya tak lantas ciut. Bung Hatta, misalnya. Pemuda yang pernah ditahan di Belanda itu telah menganggap penjara adalah risiko perjuangan. Itulah yang kemudian terpatri dalam pikirannya ketika pulang ke Indonesia.

Rasa takut telah dibuang jauh-jauh oleh Hatta. Ia bahkan, makin aktif dalam menggelorakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Narasi-narasi berisi kesadaran kemerdekaan terus disuarakannya. Dari mimbar ke mimbar. Belanda pun berang. Hatta dianggap sebagai tukang penghasut karena banyak omong.

Cap itu tak membuat Hatta gentar. Ia justru makin masif menyebarkan semangat kemerdekaan. Alias, Hatta semakin berisik. Belanda pun kehabisan kesabaran. Satu-satunya opsi untuk meredam Hatta adalah penjara.

Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta mendampingin PM India, Pendit Jawaharlal Nehru keluar dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 5 Juni 1950. (ANRI)

Opsi penjara membuat Hatta dan kawan-kawannya mendekam di Penjara Glodok (kini: Pertokoan Harco, Jakarta Kota) pada 25 Februari 1934. Penahanan itu dianggap Belanda sebagai sebuah keberhasilan. Sebab, suara berisik Hatta tak lagi terdengar. Namun, karena potensi Hatta dalam membakar semangat kaum bumiputra yang besar, ia pun segera diasingkan ke Boven Digoel, kemudian ke Banda Neira.

“Pada bulan September aku diminta datang ke kantor pemerintah urusan dalam negeri. Aku sudah merasa bahwa itu berhubungan dengan interniranku ke Boven Digoel. Seorang pegawai Belanda pada kantor itu, aku duga pangkatnya seorang kontrolir, menanyakan beberapa pertanyaan kepadaku berhubungan dengan aktivitasku dengan politik dan pergerakan.”

“Ia beritahukan juga, bahwa sudah ada penetapan pemerintah aku akan diinternir di Boven Digoel. Pada akhirnya ia tanyakan apakah aku akan mengemukakan beberapa hal untuk mempertahankan diri. kujawab tidak, karena semuanya itu hanya formalitas saja. Sesudah itu ia mengatakan bahwa aku boleh kembali ke bui Glodok,” terang Bung Hatta dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1979).