Bagikan:

JAKARTA - Jepang pernah kesulitan mengambil hati kaum bumiputra. Tipisnya batas Jepang datang sebagai penjajah atau pahlawan yang mengusir Belanda jadi muaranya. Mereka pun mencoba bersiasat untuk berkolaborasi dengan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Soekarno dan Hatta jadi bagian pejuang kemerdekaan yang bergabung. Namun, Jepang tak benar-benar percaya kepada pejuang. Jepang selalu menaruh curiga. Bahkan, Jepang pernah berencana membunuh semua pejuang kemerdekaan Indonesia.

Kehadiran Jepang sempat dianggap sebagai juru selamat pada 1942. Mereka datang membuat penjajah Belanda lari tunggang-langgang dari Nusantara. Kaum bumiputra senang bukan main. Mereka pun bersuka cita mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan Indonesia Raya.

Penjajah Jepang nyatanya sama saja. Mereka tak suka dengan hadirnya bendera lain selain milik Jepang: Hinomaru. Bendera Merah Putih dilarang. Demikian dengan lagu Indonesia raya. Kaum bumiputra yang awalnya simpati justru berubah jadi benci.

Jepang pun menyadari teror mereka kepada kaum bumiputra tak dapat dilangsungkan terus-menerus. Mereka butuh sesuatu hal yang membuat kaum bumiputra menurut. Paling tidak bisa membuat kaum bumiputra mandi keringat demi kepentingan Jepang sebagai bentuk dukungan Negeri Matahari Terbit menghadapi Perang Pasifik.

Soekarno dan Mohammad Hatta bersama beberapa petinggi militer Jepang. (ANRI)

Penjajah Jepang pun bersiasat dengan merangkul pejuang kemerdekaan yang berpengaruh. Rencana itu di atas kertas memberikan ruang pejuang kemerdekaan mewujudkan cita-cita merdeka. Namun, rencana itu justru jadi jalan Jepang supaya mampu menguasai kaum bumiputra.

Mereka mulai mengajak kaum bumiputra seperti  Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, hingga Kiai Haji Mas Mansur bergabung. Mereka bersedia dan dikumpulkan dalam satu organisasi. Pusat Tenaga Rakyat (Putera), namanya.

Putera memiliki tugas untuk membantu Jepang sekaligus jadi corong pejuang mendukung agenda kemerdekaan. Pucuk dicinta ulam tiba. Kolaborasi itu membawa angin segar bagi Jepang. Mulanya Putera jadi perpanjangan tangan keinginan Jepang memperoleh keinginannya.

Belakangan Kaum Bumiputra pun berpikir sebaliknya. Mereka condong memanfaatkan Putera sebagai corong menyebarkan ide-ide kemerdekaan ke seantero negeri. Sekalipun keterlibatan pejuang kemerdekaan kolaborator Jepang dianggap mengkhawatirkan oleh pejuang lainnya.

Potret Bung Karno dan pejuang kemerdekaan lainnya kala mengikuti latihan militer Jepang. (Perpusnas)

“Rasa Khawatir Hamka mengenai kedekatannya dengan Jepang makin besar pada awal 1944, ketika dia menghabiskan tiga bulan di Jawa. Para pemimpin nasionalis senior di bawah Soekarno (termasuk Mohammad Hatta, Kiai Haji Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara) di Jawa terlihat struktur kolaborasi lebih rumit bernama Putera atau Pusat Tenaga Rakyat.”

“Meski ada kolaborasi itu, kekecewaan terhadap Jepang tetap merebak. ke manapun dia pergi, kata Hamka, dia melihat kelaparan dan kekurangan dalam skala yang melebihi kondisi Sumatra. Di Jakarta Hamka mondok di rumah ayahnya yang dibuang, Haji Rasul. Haji Rasul mengungkapkan rasa bencinya terhadap Jepang dan para kolaborator, walau Haji Rasul sendiri setuju untuk sesekali memberi saran kepada Jepang,” ungkap James R. Rush dalam buku Adicerita Hamka (2020).

Musuh dalam Selimut

Jepang boleh saja memberikan ruang kepada pejuang kemerdekaan membawa hajat hidup kaum bumiputra. Namun, mereka tak percaya 100 persen kepada pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam organisasi bentukan Belanda.

Alih-alih hanya pejuang tertentu, pejuang kemerdekaan macam Bung Karno dan Hatta saja diawasi ketat. Hubungan itu seperti musuh dalam selimut. Saban hari perilaku mereka diawasi. Hidup mereka tak bebas. Laku hidup para pejuang kemerdekaan selalu dicurigai.

Mereka para pejuang kemerdekaan non kolaborator (gerakan bawah tanah) diburunya. Beberapa ada yang di penjara dan dibunuh. Pejuang kemerdekaan pun mulai berhati-hati. Agenda menyebarkan ide-ide kemerdekaan tak mau dilakukan dengan gegabah.

Romusha atau pekerja paksa yang baru kembali ke Indonesia pada Desember 1946. (National Archive of Netherland)

Bung Karno pun merasakan sendiri dicurigai Belanda. Ia menganggap dirinya harus waspada tiap saat. Tidak boleh lengah. Bisa-bisa abai nyawanya jadi terancam. Kewaspadaan itu kian meningkat kala kabar Jepang ingin membunuh semua pejuang kemerdekaan muncul.

Banyak di antara pejuang kemerdekaan mulai merapatkan barisan untuk tetap waspada. Namun, bukan pejuang kemerdekaan yang membuat jera Jepang. Mereka justru kelabakan dalam Perang Pasifik. Sikap berlebihan itu dikurangi dan secara terang-terangan menjanjikan Indonesia untuk merdeka. Jepang ingin supaya kaum bumiputra terus memberikan dukungan.

“Ke mana saja aku pergi, sejumlah perwira mengiringkanku atau secara diam-diam menelitiku dengan cermat. Kempetai sering datang ke tempatku pad`a tenggang yang tidak tentu. Aku harus menjaga diriku setiap saat. Orang Jepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempercayaiku sepenuhnya.”

“Orang-orang kami di dalam gerakan bawah tanah mengirim pesan, ada rencana Jepang untuk membunuh semua pemimpin bangsa Indonesia. menurut kabar angin itu, Jepang hanya memerlukan tenagaku untuk mengambil hati rakyat buat kepentingan mereka, dan begitu tugas tersebut selesai, giliranku pun akan datang pula. Aku selalu dalam bahaya,” ungkap Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2008).