JAKARTA – Sejarah hari ini, 80 tahun yang lalu, 29 Februari 1944, penjajah Jepang menjatuhkan vonis mati kepada pejuang kemerdekaan Amir Syarifuddin. Hukuman itu diberikan karena Amir dianggap berpontensi mengganggu agenda Jepang di Nusantara.
Sebelumnya, penjajah Jepang giat mengajak pejuang kemerdekaan untuk berkolaborasi dalam kuasanya. Siasat itu dilakukan Jepang demi mengambil hati kaum bumiputra. Masalah muncul. Tak semua pejuang kemerdekaan sudi berkolaborasi dengan Jepang.
Kehadiran Jepang sebagai penguasa baru Nusantara penuh dinamika. Mereka menggunakan strategi merangkul, ketimbang memukul. Banyak di antara pejuang kemerdekaan diajak berkolaborasi dalam pemerintahan. Sikap itu ditunjukkan pula dengan straregi Jepang mengistimewakan umat Islam.
Siasat Jepang tak lain supaya kaum bumiputra mendukung penuh Jepang dalam Perang Pasifik. Jepang sampai menjanjikan kaum bumiputra untuk merdeka. Suatu hadiah yang dianggap berharga karena penjajahan atau praktik kolonialisme telah menyengsarakan kaum bumiputra.
Pejuang kemerdekaan banyak jadi bagian dari Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, hingga K.H. Mas Mansoer ada di dalamnya. Pun banyak pula yang menjadi perwira Pembela Tanah Air (Peta).
Mereka yang tergabung banyak berasal dari kalangan ulama, mantan guru, hingga pejabat pemerintah. Kolaborasi itu membawa keuntungan. Agenda kemerdekaan Indonesia dapat dibicarakan secara luas tak seperti era penjajahan Belanda.
Namun, tak semua pejuang kemerdekaan sudi berkolaborasi dengan Jepang. Ambil contoh Amir Syarifuddin. Pejuang kemerdekaan kiri itu memimpin gerakan bawah tanah anti Jepang dengan dukungan Belanda.
Pergerakan melawan dominasi Jepang pun dianggap mengganggu. Amir dan pengikutnya bak ancaman eksistensi Jepang di Nusantara. Kondisi itu membuat Amir diburu. Jepang ingin memangkas habis gerakan anti Jepang. Perlawanan Amir pun kandas. Ia dan pengikutnya ditangkap Jepang pada awal 1943.
“Tokoh-tokoh politik generasi tua yang dihubungi para mahasiswa ialah Soekarno dan Hatta dan mereka inilah yang ditarik oleh pemerintah militer Jepang bekerja di dalam instansi pemerintah yang telah disusun oleh Jepang. Sedangkan Amir Syarifuddin, seorang intelektual pendidikan Belanda yang sebelum perang meletus bekerja pada jawatan urusan ekonomi Belanda, malah ditangkap oleh Kampetai suatu badan intelijen militer Jepang, atas tuduhan mendapat tugas dari pemerintah Belanda membuat jaringan organisasi untuk melawan Jepang.“
“Mungkin yang melaporkan ia kepada Jepang itu orang Belanda anggota NSB (National Sosialistische Bond yang dicap sebagai koloni ke-5 Nazi Jerman) yang bekerja di jawatan itu juga. Seperti diketahui, Fasis Jepang seperti Fasis Jerman, menganggap komunisme sebagai musuh terbesar. Bersamaan dengan ditangkapnya Amir Syarifuddin, sejumlah orang Indonesia yang dicurigai sebagai golongan komunis juga ditangkap dan dipenjarakan,” ungkap Hario Kecik dalam buku Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009).
Hukuman penjara membuat Amir dipaksa merakan perihnya hidup. Saban hari ia disiksa tanpa peri kemanusiaan. Hidupnya kian nelangsa. Ia pun diadili ala militer. Penjajah Jepang kemudian menjatuhkan vonis mati kepada Amir pada 29 Februari 1944.
Vonis itu merupakan hukuman paling lazim di era Jepang. Hukumannya biasa dua cara. Dipenggal katana atau ditembak parakai nambu (pistol semi otomatis buatan Jepang). Namun, semua berubah kala pejuang kemerdekaan Soekarno dan Hatta coba ikut campur.
BACA JUGA:
Mereka melobi Jepang supaya Amir tak hukum mati. Lobi itu berhasil membuat Jepang luluh. Akhirnya, penjajah Jepang mengubah hukuman Amir dari hukuman mati ke penjara seumur hidup.
“Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Syarifuddin, salah seorang pemimpin kami dari gerakan bawah tanah, selama berminggu‐minggu telah digantung oleh Kempetai dengan kakinya ke atas. Dia disuruh meminum air kencingnya sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan. Bebaskan dia atau kalau tidak, jangan diharap lagi kerjasama dari saya."
“Untuk dapat membuat pernyataan seperti itu, sungguh‐ sungguh diperlukan hati yang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Syarifuddin ketika Jepang mengeluarkannya, memerlukan kekuatan hati yang lebih besar lagi. Badannya kurus seperti lidi. Orang tidak dapat percaya, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan masih mungkin keluar daIam keadaan bernyawa,” ungkap Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007).