Aksi Bakar Diri Mohamed Bouazizi Picu Gelombang Revolusi Arab Spring
Aksi bakar diri Mohamed Bouazizi di Kota Sidi Bouzid pada 17 Desember 2010 untuk memprotes Pemerintah Tunisia yang korup, berujung kejatuhan Presiden Zine El Abidine Ben Ali. (Medium/Matt Mortensen) (

Bagikan:

JAKARTA - Kepemimpinan otoriter kerap memicu aksi protes. Narasi itu terlihat di era pemerintahan diktator Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali. Kebebasan berpendapat bak hal ‘gaib’ di Tunisia. Barang siapa yang melawan, mereka akan ditindak tegas.

Mohamed Bouazizi pun tergerak jadi juru selamat. Penjual buah itu ingin melawan tirani kekuasaan dengan aksi fenomenal: bakar diri. Alih-alih hanya membuat diktator Ben Ali lengser, aksinya menjelma bak pemicu gelombang revolusi di Timur Tengah (Arab Spring).

Kepemimpinan Presiden, Zine El Abidine Ben Ali pernah membawa harapan baru bagi seisi Tunisia. Ia dielu-elukan bak pahlawan sedari awal memimpin pada 1987. Rakyat Tunisia berharap Ben Ali dapat membawa era kebebasan berpendapat.

Rezim Ben Ali dianggap takkan menyengsarakan rakyat. Apalagi, sampai berlaku memaksa menahan dan menyiksa para pengkritik yang berisik. Harapan tinggal harapan. Pemerintahan Ben Ali justru berbuat sebaliknya.

Rakyat turun ke jalan menuntut rezim diktator Ben Ali karena dipicu aksi bakar diri Mohamed Bouazizi. (Wikimedia Commons)

Ben Ali menggelorakan pemerintahan yang otoriter. Kondisi itu diperparah dengan korupsi yang merajalela. Seisi Tunisia jadi korban. Hajat hidup rakyat Tunisia jatuh pada level terendah. Tiada yang mampu mengkritik Ben Ali. Pemimpin Tunisia itu selalu mampu mempertahankan kekuasaannya. Sekalipun Pemilu terus digelar.

Pemenang sudah tentu Ben Ali. Ia lalu dijuluki sebagai Ben a Vie, alias presiden seumur hidup. Rakyat Tunisia geram. Kegeraman muncul karena kondisi hajat hidup rakyat Tunisia kian memburuk. Rakyat menuntut pemerintah dapat membuka banyak lapangan pekerjaan dan menaikkan upah pekerja.

Pemerintah Tunisia seakan tak mendengar kritikan. Empunya kuasa justru kian represif. Potret itu diperlihatkan dengan tindakan gegabah aparat penegak hukum yang merazia gerobak buah milik Mohamed Bouazizi di Kota Sidi Bouzid.

Penjual buah putus sekolah itu (sebelumnya informasi Bouazizi adalah sarjana, namun tak benar) berinisiatif untuk mendatangi balai kota untuk mendapatkan kembali gerobaknya. Malang tak dapat ditolak.

Poster diktator Tunisia, Ben Ali dibuang ke tempat sampah. (Wikimedia Commons) 

Keinginannya tak diindahkan oleh pemerintah setempat. Kekecawaan Bouazizi kepada pemerintah yang dianggapnya ikut menyengsarakan rakyat kecil muncul. Ia membeli dua kaleng bensin dan mendatangi Kantor Gubernur pada 17 Desember 2010. Di sana ia melakukan aksi bakar diri sebagai bentuk protesnya kepada pemerintah.

“Dia mencari nafkah dengan satu-satunya cara yang bisa dia temukan: sebagai penjual buah dan sayur untuk menghidupi ibu, paman, dan lima saudara laki-laki dan perempuannya di rumah. Namun, dia terus-menerus diganggu oleh pejabat pemerintah.”

“Setelah pihak berwenang menyita dagangannya, memukulinya, dan menolak mengembalikan harta bendanya, dia menyiram dirinya dengan bensin dan menyalakan korek api untuk membakar diri di depan kantor gubernur setempat,” terang Adele Hasan dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul A Fruit Vendor Whose Death Led to a Revolution (2014).

Picu Arab Spring

Aksi bakar diri Mohamed Bouazizi membawa kehebohan di seantero Tunisia, kemudian dunia. Tubuh Bouazizi luka parah dan meninggal dunia tiga minggu setelahnya. Pengorbanan Bouazizi tak sia-sia. Aksi bakar diri itu nyatanya memantik perlawanan terhadap rezim Ben Ali.

Gelombang perlawanan yang membawa semangat pro demokrasi muncul di mana-mana. Rakyat Tunisia tak sudi lagi dipimpin oleh seorang diktator. Kekesalan rakyat Tunisia tumpah ruah di media sosial, dari Twitter, Facebook, hingga Youtube.

Hasilnya menakjubkan. Banyak orang menganggap memiliki nasib sama seperti Bouazizi. Mereka yang kesal pun ikut bergabung untuk turun ke jalanan. Rakyat Tunisia menuntut pemerintah memberikan mereka pekerjaan hingga upah yang layak.

Ben Ali tak menggubris. Aksi yang kian membesar memaksanya ambil sikap. Ia lalu menyanggupi. Namun, kesanggupan itu sudah terlambat. Rakyat yang menuntutnya mundur sudah menyebar ke mana-mana. Upaya itu akhirnya mampu melengserkan Ben Ali dari singgasananya pada 14 Januari 2011.

Semenjak itu Mohamed Bouazizi menjelma jadi simbol perlawanan di Timur Tengah. Aksi bakar diri Bouazizi menginspirasi gelombang revolusi Arab Spring. Suatu gelombang revolusi yang mampu meruntuhkan rezim diktator, dari Mesir, Libya, hingga Yaman.

“Kamis dua pekan lalu, Presiden Ben Ali berpidato dengan emosional. Saya memahami Anda. Silakan menghentikan kekerasan. Dia berjanji memenuhi tuntutan demonstran, menyediakan 300 ribu pekerjaan, dan tidak akan mencalonkan diri pada 2014. Namun terlambat, rakyat Tunisia telanjur marah.”

“Tunisia genting. Ben Ali membubarkan pemerintah dan menyatakan keadaan darurat. Esok paginya, televisi pemerintah Tunisia mengumumkan Ben Ali resmi mengundurkan diri. Ketua Mahkamah Konstitusi Fethi Abdennadher menyatakan Ben Ali sudah hengkang dari Tunisia. Dia minggat memboyong 30 anggota keluarganya,” ujar Ninin Damayanti dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Revolusi Sang Tukang Buah (2011).