JAKARTA – Memori hari ini, sembilan tahun yang lalu, 24 Februari 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan ingin libatkan publik dalam mengurusi pendidikan Indonesia. Pelibatan itu sangat diperlukan untuk tumbuh kembang pendidikan Indonesia di masa yang akan datang.
Sebelumnya, urusan pendidikan Indonesia bak jadi ‘monopoli’ pejabat belaka. Publik jarang dilibatkan dalam menyusunkan dan mengawasi ragam kebijakan. Masalah muncul. Banyak kebijakan yang tak tepat guna.
Pendidikan adalah jalan utama dalam menjawab tantangan zaman. Namun, urusan mengembangkan pendidikan bukan hal mudah. Kurikulum anak sekolah yang mudah saja berganti jadi buktinya. Narasi itu membuktikan bahwa mengurusi pendidikan penuh liku.
Kondisi itu diperparah dengan serangkaian kebijakan yang justru tak tepat guna. Pembatasan materi ajar hingga metode pengajaran yang cenderung ketinggalan zaman jadi contoh. Semuanya karena penyusunan rencana pengembangan pendidikan tak melibat banyak pihak.
Kebijakan yang dihadirkan pun tak dapat berkembang dan membuat kebingungan. Ambil contoh kala Kemendikbud menginginkan tak boleh ada siswa SD tinggal kelas pada 2013. Kebijakan ini membingungkan banyak guru.
Apalagi, pemerintah menguatkan keinginannya dengan menghapuskan kebijakan ujian nasional di SD. Kemendikbud memang memiliki tujuan mulia. Empunya kuasa ingin supaya penghapusan siswa tingga kelas untuk membantu anak didik meningkat potensinya.
Mereka dianggap dapat menjadi apa saja. Jikalau tinggal kelas, maka mereka kehilangan motivasi dan sedih. Namun, banyak guru merasakan kebijakan itu terlalu tiba-tiba. Segenap guru jadi bingung bagaimana mereka dalam menyusun materi ajar dan menentukan standarisasi nilai.
Mereka pun berharap pemerintah dapat merumuskan kebijakan dengan berdiskusi bersama banyak pihak supaya kebijakan rangkum. Alias, ketika sudah berbentuk kebijakan tinggal dijalankan, tanpa ada pertanyaan kembali.
“Murid yang belum memahami pelajaran tetap boleh naik kelas, tetapi harus mengulang pelajaran yang belum dikuasai. Bentuk penilaian rapor SD juga berubah, tidak lagi berisi angka-angka, tetapi berbentuk deskriptif untuk menilai sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Penilaian di SD tidak ada angka, tetapi narasi,” ujar Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud Ramon Mahondas sebagaimana dikutip laman Kompas.com, 3 Desember 2013.
Sederet masalah itu kemudian coba dipecahkan Mendikbud yang baru, Anies Baswedan. Ia menyadari bahwa Kemendikbud belakangan tak banyak melibatkan orang di luar kementeriannya untuk merumuskan dan mengawasi kebijakan.
Anies pun tak ingin kebiasaan itu berlanjut. Kolaborasi dengan publik mutlak dibutuhkan. Anies pun mengungkap hal itu dalam Simposium Pendidikan Nasional pada tanggal 24 Februari 2015. Ia ingin keterlibatan publik dalam menyusun dan mengawal kebijakan pendidikan lebih banyak.
Semuanya itu supaya pemerintah dapat menghasilkan produk kebijakan yang tepat guna dalam bidang pendidikan. Hasilnya pendidikan nasional dapat jadi garda ke depan menjawab tantangan zaman.
BACA JUGA:
"Pendidikan sebagai sebuah gerakan jelas membutuhkan keterlibatan publik. Oleh karena itu, pihak Kementerian secara sadar melibatkan publik dalam bersama-sama mengurusi pendidikan dan mencari solusi terhadap tantangan yang dihadapi terkait pendidikan.”
"Anggaran pendidikan Rp408,54 triliun, 37,8 persen (sekitar Rp 154,36 triliun) masuk ke daerah. Jika hal tersebut tidak diawasi dan dikelola dengan baik, maka masalah pendidikan di Indonesia tak akan kunjung selesai. Peran publik dan masyarakat sipil bisa mengawal kebijakan pendidikan dan kebudayaan di setiap wilayah di Indonesia, baik pusat maupun daerah menjadi sangat penting demi pendidikan Indonesia yang lebih baik," jelas Anies sebagaimana dikutip laman Liputan6.com, 24 Februari 2015.