Anies Baswesdan Jadi Mendikbud dalam Memori Hari Ini, 27 Oktober 2014
Anies Baswedan saat menjabat sebagai Mendikbud era 2014-2016. (Antara/Indrianto Eko Suwarso)

Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, sembilan tahun yang lalu, 27 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) yang baru. Kepercayaan itu diberikan pemerintah karena Anies dianggap mempuni mengembangkan bidang pendidikan.

Sebelumnya, Anies dikenal luas aktif dalam dunia pendidikan. Ia pernah tercatat sebagai rektor Universitas Paramadina. Jabatan itu membuatnya banyak menggagas kegiatan. Dari Beasiswa Paramadina hingga Gerakan Indonesia Mengajar.

Pendidikan adalah alat perubahan yang ampuh. Narasi itu diamini oleh Anies Baswedan. Ia memiliki cita-cita untuk menjadikan pendidikan sebagai alat pembawa perubahan positif bagi seisi Indonesia. Semesta kemudian bak membawa Anies menjadi Rektor Universitas Paramadina era 2007-2015.

Kepemimpinannya di Universitas yang didirikan cendikiawan Islam, Nurcholish Madjid gemilang. Inisiasinya banyak diperhitungkan. Utamanya, urusan memberikan beasiswa kepada anak-anak muda di pelosok negeri untuk dapat berkuliah di Paramadina. Paramadina Fellowship, namanya.

Beasiswa itu banyak membantu generasi muda yang mulanya terkendala biaya, kemudian dapat berkuliah dan sukses. Semuanya karena beasiswa itu telah mencangkup segalanya. Dari biaya kuliah, buku, hingga tempat tinggal.

Anies Baswedan diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di oleh Presiden Jokowi pada 27 Oktober 2014. (Antara/Indrianto Eko Suwarso)

Inisiasinya dalam bidang pendidikan tak melulu hadir di dalam kampus. Ia juga menginisiasi Gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan itu digagas oleh Anies untuk memberdayakan generasi muda. Mereka kemudian direkrut, dilatih, dan dikirimkan untuk mengabdi ke pelosok Indonesia selama satu tahun.

Kegiatan itu memunculkan simbiosis mutualisme. Anak muda dapat pengalaman sebagai guru. Muridnya dapat pendidikan yang memadai. Kondisi itu membuat nama Anies kesohor. Namanya, bahkan di elu-elukan sebagai agen pembawa perubahan.

Kiprah Anies membuat banyak orang kepincut. Pun Jokowi. Anies dijadikannya sebagai juru bicara tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam Pilpres 2014. Hasilnya gemilang. Jokowi dan JK lalu jadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang baru.

“Meski menggunakan nama mengajar, bagi Anies Gerakan Indonesia Mengajar lebih dari sekadar mengajar. Dari segi idealisme, GIM memiliki dua tujuan: mengisi kekurangan guru berkualitas di sekolah dasar, khususnya di daerah terpencil; dan menyiapkan lulusan perguruan tinggi untuk jadi pemimpin masa depan yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan kedekatan dengan rakyat kecil di pelosok negeri.”

“Namun dari segi praktis, Gerakan Indonesia Mengajar adalah upaya untuk merajut tenun kebangsaan. Bukan dengan teori, melainkan dengan praktik nyata. Namun, apa kriteria peserta Gerakan Indonesia Mengajar ini? Sebagaimana ia menjalankan program beasiswa di Paramadina, di Gerakan Indonesia Mengajar ini ia menjalankan rumus yang sama: admit the best,” ungkap Muhammad Husnil dalam buku Melunasi Janji Kemerdekaan (2014).

Keberhasilan membawa Jokowi-JK menang dalam pilpres 2014 membuat Anies kecipratan manfaat. Anies yang notabene menekuni dunia pendidikan diangkat Jokowi menjadi Mendikbud. Anies dipilih karena pretasinya di dunia pendidikan.

Pucuk dicinta ulam tiba. Anies kemudian dilantik Presiden Jokowi sebagai Mendikbud di Istana Negara pada 27 Oktober 2014. Anies pun langsung melanggengkan gebrakan. Ia mulai mengajak seluruh guru untuk menambah pengetahuan dengan serangkaian pelatihan dan lain sebagainya. Ia ingin kapasitas seorang guru bertambah.

Gebrakan lain Anies adalah mencoba menghapus budaya perploncoan. Ia mencoba mengganti masa orientasi siswa dengan masa pengenalan lingkungan sekolah. Ia pun mencoba mengangkat Direktur Jenderal Kebudayaan dari kalangan non PNS. Gebrakan itu dianggap revolusioner.  

“Saya sangat menghargai dan menghormati ketegasan sikap dan tindakan Mendikbud Anies Baswadan terhadap apa yang disebut sebagai perploncoan, sebab sudah lama disanubari saya dirundung kegalauan yang menggetir sukma akibat budaya plonco di pendidikan Indonesia.”

“Fakta itu tak terbantahkan mengenai dampak negatif bahkan destruktif perpeloncoan cukup berlimpah dalam bentuk bukan cuma hanya korban luka lahir batin, namun malah korban jiwa akibat perploncoan. Para korban nyata perploncoan jumlahnya sudah tidak terhitung sebab memang tidak pernah secara resmi dihitung akibat sudah dianggap sebagai seolah kelumrahan biasa,” ujar Jaya Suprana dalam buku Bercak-Bercak Harapan (2018).