Siasat Penjajah Belanda Redam Mahalnya Harga Beras
Kelangkaan dan kenaikan harga beras pernah terjadi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Imbas Perang Dunia I pernah dirasakan seisi Nusantara. Krisis ekonomi yang membawa kepanikan muncul di mana-mana. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak naik. Harga beras, utamanya. Pemerintah kolonial Belanda pun ambil sikap.

Siasat dimainkan untuk meredam amarah rakyat karena harga beras mahal. Empunya kuasa melarang keras ekspor beras, sekalipun menguntungkan. Pemilik perkebunan dipaksa menyediakan lahan untu menamam beras. Barang siapa yang menimbun stok beras juga dihukum berat.

Daya rusak Perang Dunia I (1914-1918) kepada aktivitas ekonomi seisi bumi tiada dua. Di Hindia Belanda (kini: Indonesia), apalagi. Perang itu harus dibayar mahal dengan terjadi efek domino kekacauan ekonomi.

Efek domino itu bermula dari terjadinya penyitaan hasil bumi asal Hindia Belanda oleh negara yang berperang. Padahal, hasil bumi itu dapat menghasilkan pundi-pundi pendapatan besar bagi penjajah Belanda.

Penyitaan itu membuat penjajah Belanda merugi. Imbasnya kemana-mana. Harga-harga barang kebutuhan pokok meningkat, sementara pendapatan menurun. Kondisi itu membuat segenap rakyat Hindia Belanda, utamanya kaum bumiputra harus menanggung nestapa.

Panen padi di Nusantara pada masa penjajahan Belanda. (Wikimedia Commons)

Mereka jadi korban karena bergantung dari penghasilan dari sektor pertanian dan perkebunan. Suatu kondisi yang dapat digambarkan dengan peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga.

Beras yang dikenal sebagai makanan pokok harganya mulai melonjak jauh. Banyak orang mulai kewalahan. Mereka tak memiliki opsi lain selain berutang demi mendapatkan beras. Kondisi itu diwajarkan karena di berbagai belahan dunia sedang terjadi kelaparan karena perang.

Penjajah kolonial, utamanya pengusaha harus bijak dalam mengambil keputusan. Namun, tak dilakukan. Mereka justru memilih mengekspor beras karena permintaan tinggi dan menguntungkan. Kebodohan itu nyatanya dibayar mahal.

Beras bak jadi barang langka berharga mahal di dalam negeri. Penjajah Belanda pun mulai risau. Mereka merasa harga beras harus segera distabilkan. Semuanya karena gejolak sosial akibat kelangkaan dapat membuat kaum bumiputra bergerak melawan dominasi penjajah Belanda.

“Selain itu, pemerintah memperluas pengaturannya dengan mengambil alih semua perdagangan beras. Pemerintah segera membeli seluruh produksi beras setelah panen raya sebagai bentuk pencegahan terhadap kemungkinan kenaikan harga yang kerap dilakukan para pedagang.”

“Di masa paceklik atau kekurangan, para pedagang yang menimbun persediaan beras akan mengeruk keuntungan yang besar. Perkembangan internasional yang menutup hampir semua pasar beras mendorong pemerintah kolonial mengatur persediaan dan perluasan penanaman padi. Selanjutnya, sebuah peraturan pemerintah menentukan bahwa semua perkebunan besar di luar Pulau Jawa harus menyediakan sebagian lahan untuk penanaman padi dan menjaga agar tidak terjadi kekurangan beras," ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (2008).

Siasat Turunkan Harga Beras

Penjajah Belanda tak hanya mendewakan beberapa langkah saja untuk mengatasi harga mahal beras. Empunya kuasa pun turun menyediakan banyak langkah lainnya, dari solusi biasa hingga langkah yang membawa kehebohan.

Pemerintah kolonial pun mencari tahu pangkal masalah kelangkaan beras. Mereka mendapatkan fakta banyak di antara pengusaha/ pedagang justru memanfaat isu Perang Dunia I untuk menimbun stok beras. Beras sengaja dibiarkan langka di pasaran.

Tujuannya supaya harga beras melonjak naik. Sesuai dengan narasi ilmu ekonomi: penawaran dan permintaan. Penjajah Belanda tak mau menyerah. Pemerintah tak boleh kalah. Pejabat pemerintah kolonial bergerak untuk melancarkan operasi membereskan harga beras mahal.

Barang siapa yang kedapatan menimbun akan disita stoknya. Lebih lagi, mereka harus menghadapi hukuman yang berat hingga kurungan penjara. Upaya itu berhasil untuk sementara waktu. Pemerintah kolonial pun tak lupa memanfaatkan media massa –surat kabat supaya menyebar ketakutan (fear mongering).

Pada masa penjajahan Belanda, penimbun beras mendapat hukuman yang berat. (Wikimedia Commons)

Pesan-pesan yang menegaskan mereka yang berlaku menentang pemerintah dengan menimbun stok beras akan dihukum. Tujuannya supaya kian banyak pengusaha yang bertobat dan berhenti menimbun stok beras, sekalipun peringatan itu justru tak banyak berdampak.

“Penimbunan diancam dengan penyitaan stok. Sebagai ancaman tambahan, Jaksa Agung mengirim surat edaran ke koran-koran yang tampaknya berisi permintaan bantuan agar para redaktur mengingatkan khalayak bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur hukuman bagi penyebaran rumor tak bertanggung jawab untuk mempengaruhi harga.”

“Tidak lupa dia menyebutkan bahwa peraturan tentang pers membolehkan tindakan terhadap penyebaran secara sengaja berita-berita yang tidak benar. Pemuatan rumor-rumor sesat di surat kabar, bahkan jika redaktur tidak tahu bahwa kabar itu tidak benar, dapat dipidana. Peringatan yang tidak ada gunanya. Koran-koran terus memberitakan kenaikan harga dan kepanikan publik,” ungkap Kees van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914 – 1918 (2013).