Mobil Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin Ditembaki NICA dalam Sejarah Hari Ini, 28 Desember 1945
Potret Amir Sjarifuddin yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan era 1945-1946. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 78 tahun yang lalu, 28 Desember 1945, mobil Menteri Penerangan, Amir Sjarifuddin ditembaki oleh tentara Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA). Upaya percobaan pembunuhan itu dilakukan penjajah Belanda untuk meneror pemerintah Indonesia.

Sebelumnya, penjajah Belanda tak sudi melihat Indonesia merdeka. Mereka pun ingin menguasai Indonesia kembali. Potensi keuntungan jadi muaranya. Mereka memanfaatkan tentara sekutu Inggris untuk masuk kembali ke Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia telah digaungkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Keduanya mewakili seluruh rakyat Indonesia berikrar merdeka dari segala macam penjajahan. Peristiwa itu disambut dengan gegap gempita. Namun, tidak bagi penjajah Belanda.

Negeri Kincir Angin masih berharap dapat terus menjajah Indonesia. Mereka beranggapan Indonesia masih menjanjikan keuntungan kepada Belanda. Keinginan menguasai kembali Nusantara pun bulat. Siasat pun dimainkan.

Belanda lewat NICA mencoba membonceng sekutu untuk masuk ke Indonesia lewat Jakarta. Alih-alih Belanda masuk dengan tujuan ikut mengamankan bekas kuasa penjajah Jepang, Belanda nyatanya punya maksud spesifik. Mereka ingin menyebarkan teror supaya kembali menguasai Indonesia.

Amir Sjarufuddin (paling kanan) saat menjabat Perdana Menteri Indonesia dalam Perundingan Renville 18 Desember 1947-17 Januari 1948. (Wikimedia Commons)

Strategi itu dimainkan karena kekuatan militer Indonesia tak seberapa. Alias Indonesia dianggap takkan mampu memberikan perlawanan berarti. Belanda pun menjadikan Jakarta bak medan perang. Kaum bumiputra jadi incaran.

NICA tak segan-segan memukul, introgasi, dan mengambil segala macam harta benda milik kaum bumiputra. Teror itu justru tak membuat rakyat Indonesia menyerah. Mereka memilih ikut membela bangsa dan negara dengan pasang badan melawan NICA.

“Memang NICA semakin buas tampaknya. Untuk melakukan ‘pembersihan’ di Sawah Besar, NICA mempergunakan mobil-mobil berlapis baja, senjata-senjata berat, sedangkan Pemuda Pelopor yang bertahan di situ bersama rakyat hanya punya bambu runcing, golok, pedang, beberapa pistol, senapan, dan granat yang dirampas dari Jepang.”

“Di Asem Reges, sekitar Gang Kali Got, di Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk) NICA menempatkan senjata mitraliur. Serdadu-serdadu NICA menyerang pemuda-pemuda yang sudah terkurung di Sawah Besar. Walaupun pemuda-pemuda pelopor memberikan perlawanan, akhirnya mereka terpaksa mundur,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 7 (2015).

Belanda tak mau mundur. Intensitas teror justru kian masif. Mereka bahkan mulai menarget pembunuhan para tokoh bangsa. Kondisi itu membuat ruang gerak para pemimpin bangsa terbatas. Saban hari mereka keluar dari rumah dan bekerja kerap diselimuti rasa khawatir.

Amie Sjarifuddin, mantan Menteri Penerangan dan Perdana Menteri RI yang meninggal dengan cara dieksekusi mati karena terlibat Pemberontakan PKI Madiun 1948. (Wikimedia Commons)

Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, misalnya. Nyawanya telah diincar oleh pasukan militer NICA. Mobilnya ditandai. Narasi itu membuat NICA melakukan upaya percobaan pembunuhan terhadap Amir. Mobilnya ditembaki oleh tentara NICA pada 28 Desember 1945.

Namun, tiada korban dalam peristiwa itu. Amir sendiri tak berada dalam mobil. Supir Amir pun selamat karena langsung tancap gas kala diserang NICA. Sekalipun begitu, peristiwa penembakan jadi berita hangat di kalangan tokoh bangsa. Kemudian, para tokoh bangsa sepakat memindahkan Ibu Kota Negara ke Yogyakarta sebagai solusi pada 1946.

“Pada 28 Desember 1945, mobil Menteri Penerangan, Amir Sjarifuddin ditembaki tentara NICA. Sekitar pukul 15.00 mobil Menteri Penerangan meluncur di Jalan Pegangsaan Timur menuju rumah Presiden Soekarno. Di depan asrama Sekolah Guru Tinggi, mobil tersebut bertemu dengan truk berisi serdadu NICA yang tiba-tiba menembakkan senjatanya ke mobil sehingga kaca samping mobil pecah.”

“Beruntung Menteri Penerangan tidak ada di dalamnya dan sang sopir terus mengarahkan ke rumah presiden. Polisi Militer Inggris mendatangi rumah Soekarno dan melakukan pemeriksaan dengan disaksikan oleh Soekarno, Hatta, dan Amir Sjarifoeddin. Sejak itu Kementerian Penerangan dijaga oleh kesatuan tentara Inggris,” terang Osa Kurniawan Ilham dalam buku Beras untuk India: Solidaritas Kemanusiaan dalam Pusaran Revolusi Indonesia dan India 1945-1946 (2021).