JAKARTA – Sejarah hari ini, 23 tahun yang lalu, 2 Januari 1946, Sultan Hamengkubowono IX dan Paku Alam VIII menawarkan Yogkarta sebagai Ibu Kota Indonesia. Tawaran itu diberikan sebagai bentuk keseriusan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman jadi bagian Indonesia.
Sebelumnya, kondisi Jakarta pasca proklamasi kemerdekaan kian mencekam. Tentara Pasukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) terus mengancam nyawa petinggi negara. Percobaan bunuh diri kepada pemimpin bangsa terus dilakukan.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah peristiwa besar bagi segenap rakyat Indonesia. Peristiwa itu jadi penanda baru Indonesia lepas dari segala macam bentuk penjajahan. Rakyat Indonesia pun menyambutya dengan suka cita, tapi tidak dengan penjajah Belanda.
Mereka masih menginginkan Indonesia. Mereka ingin kembali memeras keringat rakyat, lalu keuntungannya dibawa pergi ke Negeri Kincir Angin. Keinginan itu membuat Belanda lewat bendera NICA datang kembali ke Jakarta.
Mereka sengaja datang dengan cara membonceng sekutu Inggris. Belakangan pasukan NICA yang datang bejibun. Pasukan-pasukan itu mulai mengganggu dan mengacaukan ketentraman pemerintahan sedari 1945.
BACA JUGA:
Teror mulai dilancarkan NICA. Rakyat Indonesia di Jakarta mulai kena getahnya. Mereka diperlakukan dengan tak manusiawi. Barang siapa yang berurusan dengan NICA, hidupnya takkan tentram. Mereka dipukuli, harta mereka diambil.
Kondisi itu tak jarang memunculkan perlawanan. NICA pun tak hanya menyasar rakyat biasa. Pejabat negara juga ikut jadi target. NICA beberapa kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap petinggi negara. Soekarno hingga Sutan Sjahrir pernah merasakannya.
“Pada akhir Desember 1946, di kantor di Jalan Cilacap saya melihat bahwa sebelah mata Sjahrir bengkak dan biru. Ketika saya bertanya apakah ia jatuh atau berkelahi, sambil tertawa ia jawab bahwa ia terpeleset. Yang benar adalah bahwa mata yang bengkak dan biru itu disebabkan suatu percobaan pembunuhan atas dirinya oleh beberapa serdadu Ambon.”
“Ketika itu ia bersama Pak Boediono, kawan karibnya, berada di mobil di simpang lima Huize Vijfsprong (simpang lima Cikini Raya, Menteng Raya, Teuku Umar, dan Kali Pasir) dan sekonyong-konyong disergap oleh tentara Ambon. Mobil diberhentikan dan seorang serdadu yang mengacungkan pistolnya kepada Bung Sjahrir. Tetapi, ketika ia menarik pelatuknya, senjata itu macet dan karena marahnya serdadu itu memukul Sjahrir dengan gagang pistolnya,” ujar Rosihan Anwar dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).
Masalah keamanan petinggi negara di Jakarta yang tak aman terdengar sampai Yogyakarta. Keduanya pemimpin Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII pun tak mau perjuangan Indonesia segera berakhir. Mereka yang baru saja jadi bagian Indonesia mencoba menawarkan solusi.
Keduanya pun mengirimkan pesan tawaran kepada pemimpin Indonesia supaya Yogyakarta jadi Ibu Kota pada 2 Januari 1946. Tawaran itu diungkap mereka tulus. Keduanya pun akan mencoba mempersiapkan segalanya, gedung hingga rumah pejabat. Kemudian, beberapa hari setelahnya pemimpin bangsa resmi mengumumkan Ibu Kota Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
“Dikarenakan kondisi Jakarta yang makin tidak aman sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, maka Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan K.G.P.A.A. Paku Alam VIII pada 2 Januari 1946 melalui seorang kurir mengirimkan surat kepada Sukarno yang berisi tawaran Yogyakarta sebagai ibu kota sementara Republik Indonesia.”
“Tawaran dari kedua pemimpin Yogyakarta ini pun disambut dengan baik oleh Sukarno dan para pejabat tinggi negara Selain faktor keamanan Jakarta, pertimbangan Sukarno dan Hatta menerima tawaran tersebut adalah karena Yogyakarta mempunyai fasilitas yang cukup memadai sebagai ibu kota negara dan kota ini juga sudah memiliki sistem pemerintahan yang terorganisasi dengan baik,” tegas Baha Uddin dan kawan-kawan dalam buku K.G.P.A.A. Paku Alam VIII (2023).