Bagikan:

JAKARTA - Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman punya andil besar bagi sejarah bangsa Indonesia. Keduanya menyatakan diri jadi bagian Indonesia tak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Narasi itu bak pemantik keduanya membantu perjuangan Indonesia pada Perang Revolusi (1945-1949).

Yogyakarta disiapkan sebagai Ibu Kota Negara (IKN). Segalanya disediakan. Dari biaya operasional, gedung, hingga gaji pegawai. Pemerintah Indonesia pun balas jasa. Empunya kuasa memberikan hak istimewa untuk kawasan itu: Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nama harum Yogyakarta dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan tiada dua. Kedua petinggi monarki -- Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IX dan Kadipaten Pakualaman, Paku Alam VIII-- mendukung penuh kemerdekaan Indonesia.

Keduanya langsung mengucapkan selamat sehari setelah segenap tokoh bangsa mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dukungan itu bukan cuma sekedar basa-basi belaka. Keduanya mewakili segenap rakyat Yogyakarta jadi bagian Indonesia pada 5 September 1945.

Tugu Yogyakarta, yang merupakan penanda titik tengah kota tersebut. (Wikimedia Commons)

Keputusan itu disambut dengan gegap gempita. Alih-alih hanya pemerintah, rakyat Yogyakarta, kemudian Indonesia juga menyambutnya dengan senang hati. sekalipun momentum itu dicederai dengan kedatangan Belanda lewat panji Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) untuk menjajah kembali.

Kedatangan penjajah Belanda mengubah segalanya. Kondisi Jakarta sebagai pusat kuasa Indonesia sedang tak baik-baik saja. Petinggi negara hingga tokoh bangsa kian terancam nyawanya oleh Belanda. Kondisi itu tak dibiarkan berlarut-larut. Opsi bertahan di Jakarta bak menunggu waktu kalah saja.

Opsi pemindahan IKN dari Jakarta ke Yogyakarta dilanggengkan. Pemimpin Yogyakarta menyambut baik narasi itu. Ide pindah IKN dianggap brilian. Sebab, Yogyakarta dapat menjanjikan keamanan. Pun segala macam hal terkait roda pemerintahan ditanggung oleh Kasultanan bersama Pakualaman Yogyakarta.

Mereka menyediakan gedung, biaya operasional, hingga gaji pegawai pemerintah. Semuanya itu dikeluarkan dari kas kerajaan.

Parade Grebeg Agung di Yogyakarta. (Wikimedia Commons)

“Namun ada salah satu hal yang tak terlupakan di zaman Agresi Militer II di Yogyakarta itu bagi kami sekeluarga. Dan agaknya juga bagi pejuang Republik yang tinggal dalam kota Yogya! Soalnya saya tidak menerima gaji lagi berhubung keadaan yang kacau balau, apalagi para pejabat tinggi negara pada ditawan di Pulau Bangsa dan Brastagi! Untuk makan saya sehari-hari saya bekerja di Restoran Pinokio. Dan Mery (istri Hoegeng) harus berjualan sate dan makanan lain di sana juga. Kehidupan amat sulit.”

“Namun suatu hari datanglah seseorang mengantarkan uang ke rumah. Jumlahnya besar juga 12,50 gulden, maklumlah mata uang NICA yang tinggi nilai tukarnya. Namun uang gulden itu diberikan dalam bentuk uang koin semua! Oleh pengantar ditambahkan, bahwa itu: uang dari Sultan,” terang Hoegeng Imam Santoso (Kapolri era 1968-1971) sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

Status Istimewa

Sumbangsih pemimpin Yogyakarta bagi bangsa dan negara cukup besar. Narasi itu kemudian membuat Indonesia mampu berdiri tegak walau diterpa badai Perang Revolusi. Tokoh bangsa pun mampu menunjukkan tajinya dalam ragam diplomasi.

Perjuangan itu kian terbayar ketika Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB). Pun penandatanganan penyerahan kedaulatan secara paripurna dilanggengkan dengan cepat.

Istana Dam di Belanda dan Istana Rijswijk (kini: Istana Negara) jadi saksi penyerahan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Status itu membuat Jakarta kembali jadi IKN menggantikan Yogyakarta.

Suasana Kota Yogyakarta pada tahun 1869. (KITLV/Kassian Chepas)

Kondisi itu tak membuat pemerintah Indonesia lantas lupa dengan sumbangsih pemimpin Yogyakarta. Presiden Soekarno pun menegaskan status Yogyakarta bersifat istimewa dibanding daerah lain di Indonesia.

Pemerintah pun memberikan penghargaan dan dukungan berupa keluarnya UU No 3/1950 tentang Keistimewaan Yogyakarta beserta seperangkat produk hukum lainnya. Suatu legitimasi keistimewaan yang dapat memberikan ruang petingginya jadi raja juga kepala pemerintahan.

“Dengan jawaban Presiden Sukarno itu, posisi keduanya tetap bertahan dan dipertahankan sampai keduanya mangkat. Konstitusi, yaitu pasal 18, penjelasan undang-undang dasar negara yang pertama --yang dikenal sebagai UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959-- secara jelas memberi ruang untuk mempertahankan posisi itu. Dalam penjelasan itu terdapat kalimat: Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.”

“Sepanjang perjalanan republik, baik di masa pemerintahan demokrasi terpimpin maupun pemerintahan Orde Baru, posisi keistimewaan Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman tidak pernah menjadi persoalan. Bahkan Sultan Hamengkubuwo IX tampil sebagai tokoh nasional, menjadi menteri berkali-kali, bahkan terakhir menduduki posisi Wakil Presiden Republik Indonesia. Adapun Paku Alam VIII, selaku wakil gubernur kepala daerah, menjadi ‘penjaga gawang’ yang secara praktis, de facto, menjalankan pemerintahan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta,” ungkap sejarawan Anwar Gonggong dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Keistimewaan Yogyakarta: Landasan Sejarah (2010).