Aksi Mogok Buruh Perusahaan Belanda se-Indonesia dalam Sejarah Hari Ini, 2 Desember 1957
Kantor Bank Escompto di Jakarta diduduki dan diambil alih dalam rangka nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia pada 1957-1958. (United Press)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 70 tahun yang lalu, 2 Desember 1957, segenap buruh perusahaan milik Belanda se-Indonesia melanggengkan aksi mogok total. Gebrakan itu dipicu dari sikap Belanda yang enggan melepaskan Irian Barat kepada Indonesia.

Aksi pemogokan lalu jadi jalan Indonesia menasionalisasikan perusahaan Belanda. Sebelumnya, pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia tak membuat tokoh bangsa cepat puas. Segenap tokoh bangsa merasa frasa keindonesiaan belum lengkap tanpa kehadiran Indonesia.

Konferensi Meja Bundar (KMB) kerap dianggap sebagai langkah pamungkas diplomasi Indonesia. Semuanya karena KMB jadi muara Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia. kesepakatan itu berbuah manis.

Istana Dam di Belanda dan Istana Rijswijk (kini: Istana Negara) jadi saksi penyerahan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Perjuangan dan pengorbanan rakyat Indonesia terbayar.

Namun, keputusan di KMB tak serta-merta membawa nada kebahagiaan. Segenap tokoh bangsa merasakan Belanda justru mencoba memainkan api kembali. Narasi itu karena Belanda sendiri enggan menyerahkan Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia.

Gedung Borneo Sumatra Handel Maatschappij (Borsumij) di Jakarta, salah satu dari lima perusahaan besar milik Belanda di Indonesia, dipenuhi coretan anti-Belanda menyusul pencanangan proses nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda, 15 Desember 1957. (Bettmann/Corbis)

Perjuangan diplomasi tingkat dunia untuk mendapatkan Irian Barat dilanggengkan. Rakyat Indonesia mendukung penuh agenda itu. Ajian itu demi melengkapi frasa dari Sabang sampai Merauke. Sebab, tiada alasan lagi bagi Belanda untuk menahan Irian Barat bergabung dengan Indonesia.

“Kekuatan persatuan nasional juga terbukti ketika keutuhan Indonesia terancam robek oleh desain negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dikehendaki Belanda. Berdasarkan hasil KMB di Den Haag pada 23 Agustus hingga 2 November 1949, pemerintah Belanda menyerahkan sepenuhnya tanpa syarat.”

“Upaya itu harus dilakukan sebelum 30 Desember 1949, kedaulatan Belanda atas semua wilayah bekas Hindia, kecuali Irian Barat, kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari Republik Indonesia dan 15 negara bagian bentukan Belanda, dengan Soekarno menjabat sebagai Presiden RIS, sementara Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri (1949-1950),” terang Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014).

Diplomasi tak kunjung membawakan hasil. Sikap Belanda yang menolak memberikan Irian Barat kepada Indonesia membuat geram seisi Indonesia. Perusahaan berbendera Belanda di Indonesia jadi sasaran. Dari sektor transportasi hingga perbankan. Kaum buruh mulai bergerak menggelorakan nasionalisasi.

Narasi itu kemudian didukung pula oleh pemerintah Indonesia. Menteri Penerangan Sudibjo menginstrusikan buruh untuk melakukan pemogokan total kepeda perusahaan Belanda. Hasilnya gemilang. Pemogokan dilanggengkan pada 2 Desember 1957. Suatu aksi yang kemudian menjadi awalan Indonesia menasionalisasikan perusahaan Belanda.

Potret kaum buruh di perusahaan berbendera Belanda di Nusantara. (Wikimedia Commons)

“Segera setelah itu pada tanggal 1 Desember 1957 diinstruksikan oleh Menteri Penerangan Sudibjo agar diadakan aksi mogok total pada tanggal 2 Desember 1957. Aksi pemogokan itu dilakukan oleh segenap kaum buruh yang bergabung dalam organisasi-organisasi buruh pada perusahaan Belanda. Tindakan terus berlanjut dengan pengambilalihan kantor-kantor perusahaan Belanda oleh serikat buruh yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).”

“Secara tidak resmi mereka mendapat dukungan dari Presiden Sukarno. Perdana Menteri Juanda yang sebenarnya menentang tindakan pengambilalihan, tidak punya pilihan lain kecuali menempatkan perusahaan-perusahaan Belanda di bawah pengawasan pemerintah dengan cara menunjuk para perwira militer untuk ditempatkan di beberapa perusahaan sebagai pimpinan,” terang Purnawan Basundoro dalam buku Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950–1960-an (2007).