Si Raja Mogok Soerjopranoto Jadi Pahlawan Nasional dalam Sejarah Hari Ini, 30 November 1959
Soerjopranoto, Pahlawan Nasional Indonesia yang dikenal dengan aksi mogok yang kerap dilakukannya untuk menentang ketidakadilan penjajah Belanda. (IKPN)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 64 tahun yang lalu, 30 November 1959, Presiden Soekarno mengangkat pejuang kemerdekaan Indonesia, Soerjopranoto sebagai pahlawan nasional. Pengangkatan itu dilanggengkan karena jasanya membela kaum bumiputra semasa penjajahan Belanda.

Sebelumnya, Soerjopranoto yang juga kakak dari Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai tokoh yang kerap memperjuangkan nasib kaum buruh. Ia berani pasang badan melawan Belanda membela hak kaum buruh. Ia bahkan berani menekan Belanda lewat ‘senjata’ pemogokan.

Raden Mas Soerjopranoto bak ditakdirkan hidup enak. Ia lahir sebagai cucu Paku Alam III. Identitas ningrat itu membuatnya jauh dari derita hidup era penjajahan Belanda. Namun, pria yang lahir pada 11 Januari 1871 justru memilih menjauh dari kenyamanan.

Ia bersama adiknya, Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara) memilih memahat takdirnya sendiri. Ia memilih jadi pihak yang berseberangan dan secara radikal melawan Belanda. Sikap itu diambilnya karena perlakukan Belanda terhadap kaum bumiputra kelewat batas.

Soerjopranoto dalam prangko senilai Rp30 sen terbitan tahun 1961. (Wikimedia Commons)

Kaum bumiputra sudah cukup banyak menerima perlakuan rasis. Pun kaumnya ikut diperas pula bak sapi perah. Keberpihakan Soerjopranoto kepada bumiputra kian kuat kala ia mulai bersentuhan dengan pendidikan. Ia menganggap pendidikan adalah alat memerdekakan bangsa.

Narasi itu membuat laku hidup Pangeran Pakualaman itu diwakafkan untuk pergerakan nasional. Sekalipun narasi itu membuatnya jadi musuh bebuyutan Belanda. Nyalinya tinggi. Soerjopranoto bahkan berani menampar seorang Belanda atasannya.

Semenjak itu ia tak ingin lagi bekerja untuk Belanda. Ia memilih masuk Sarekat Islam (SI). Ia pun mampu menjadi posohor dalam Sarekat Islam (SI). Pun Soerjopranoto sempat jadi orang nomor dua dalam SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Ia kemudian bergerak untuk membentuk sarekat buruh yang berafiliasi dengan SI. Politiek Economische Bond (PEB), namanya. Sarekat itu dibawanya menjadi wadah kaum buruh untuk memperoleh segala macam haknya dengan senjata pemogokan.

Laskar Buruh Indonesia memperingat Hari Buruh pada 1 Mei 1947. (beeldbankwo2.nl)

Suatu upaya yang ditakuti pemerintah dan pengusaha Belanda dari 1918 hingga 1922. Karenanya, Soerjopranoto dikenal sebagai Raja Mogok.

“Semuanya telah diatur dengan rapi, hingga pimpinan pemogokan dikoordinasi oleh Soerjopranoto dari kantor Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKM) yang dipimpin pula oleh Soerjopranoto dan beranggotakan 22 serekat buruh dengan total jumlah anggota 72 ribu orang. PEB sendiri yang beranggotakan buruh tani dan petani kecil waktu merupakan mayoritas (50 ribu anggota).”

“Soerjopronoto secara bergilir mendatangi tempat-tempat pemogokan untuk memimpin sendiri dan mengobarkan semangat. Dan karena aksinya itulah maka pers Belanda memberi gelar kepadanya sebagai De Stakingkoning (Raja Mogok). Nama Soerjopranoto menjadi harum sesudah pemogokan ini membawa hasil kemenangan,” terang anak dari Ki Hajar Dewantara, Bambang Sukawati dalam buku Raja Mogok R.M. Soerjopranoto (1983).

Keberanian dan semangat Soejopranoto selalu dikenang dalam sanubari kaum bumiputra pada saat Indonesia Merdeka. Sekalipun Soerjopranoto telah tiada sedari 15 Oktober 1959. Presiden Soekarno pun kepincut dengan keberanian dan nyalinya sebagai pejuang kemerdekaan.

Sebagai bentuk penghargaan, Soerjopranoto pun diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 30 November 1959. Penganugerahan itu dilangggengkan supaya jiwa kepahlawanan Soerjopranoto dikenang dan diadopsi rakyat untuk memajukan bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

“Dia putra bangsawan tinggi dari Paku Alaman di Yogyakarta. Tapi Raden Mas ini, seperti juga adiknya, Suwardi Suryaningrat yang kemudian bernama Ki Hajar Dewantara, lain dari yang lain. Mereka radikal. Mereka pemberontak (dalam artian melawan Belanda),” terang Sastrawan Goenawan Mohamad dalam buku Catatan Pinggir Jilid 1 (1991).