Soerjopranoto, Pahlawan Nasional yang Berani Robek Ijazah di Depan Penjajah Belanda
Soerjopranoto, Pahlawan Nasional Indonesia yang dikenal dengan aksi mogok yang kerap dilakukannya untuk menentang ketidakadilan penjajah Belanda. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Urusan menentang kuasa Belanda, Soerjopranoto jagonya. Kakak dari Ki Hajar Dewantara tak pernah takut membela nasib kaum bumiputra. Laku hidup itu dilanggengkan sedari dulu. Pria yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 30 November 1959 itu, kerap mengajak berantem orang Belanda atau sinyo keturunan Belanda yang merendahkan bangsanya.

Laku hidup itu terus dilanggengkan Soerjopranoto hingga dewasa. Ia berani pasang badan membela bangsanya. Keberaniannya tiada dua. Ia bahkan berani merobek ijazah pendidikannya di depan penjajah Belanda.

Hidup sebagai cucu Pakualam III tak pernah jauh dari kenyamanan. Segala macam kemudahan di era penjajahan Belanda mudah didapat. Sekalipun kaum bumiputra lainnya diperas bak sapi perah. Mereka yang berdarah ningrat dapat melelanggang-langgeng menikmati kehidupan.

Mereka dapat bersekolah tinggi. Pun diistimewakan dalam mencari pekerjaan. Narasi itu sempat hadir dalam hidup Soerjopranoto muda. Ia dan adiknya Soewardi Soerjaningrat merasakan manfaat dapat bersekolah. Apalagi, bersekolah kala itu kerap dianggap barang mahal di eranya.

Semuanya berubah ketika Soerjopranoto masuk sekolah Belanda. Ia melihat dengan jelas bagaimana orang Belanda hingga sinyo meremehkan hidup kaum bumiputra. Ledekan itu kian masif terjadi. Soerjopranoto pun ambil sikap.

Pejuang kemerdekaan yang juga kakak dari Ki Hajar Dewantara, Soerjopranoto. (Wikimedia Commons)

Ia tak ingin bangsanya diremehkan. Narasi itu membuatnya kerap bikin onar dengan berkelahi. Saban hari kejadian itu terus berulang. Karenanya, Soerjopranoto menganggap penjajah kolonial sebagai musuh yang harus dilawan.

Ia pun mampu lulus, tapi sikapnya tak berubah. Semua itu dibuktikan kala ia diberi kuasa bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial di Yogyakarta. Ia tak ingin membela penjajah Belanda, tapi membantu kaum bumiputra dalam segala macam kesulitannya.

Alhasil, ia sering membuat onar dalam pemerintahan. Berkali-kali ia bersitegang dengan pegawai Belanda. Penjajah Belanda ambil sikap. Soerjopranoto pun dimutasi ke berbagai tempat. Hasilnya nihil. Sikapnya tetap berlawanan dengan keinginan Belanda.

Belanda pun bersiasat memberikan kesempatan Soerjapranoto bersekolah ke sekolah pertanian di Buitenzorg (Bogor). Nyatanya, pendidikan itu membuatnya banyak berjumpa dengan banyak pejuang kemerdekaan. Ia pun mulai masuk organisasi pergerakan nasional Budi Utomo, lalu Sarekat Islam.

“Di sekolah itu ada juga R.M. Soerjopranoto (kakak Ki Hajar Dewantara) yang diharuskan oleh Pemerintah Belanda untuk belajar di sana. Soerjopranoto berhasil menyelesaikan sekolahnya pada tahun 1907. Alasan kenapa dia dikirim ke sekolah itu karena Pemerintah Hindia Belanda menilai Soerjopranoto selalu membuat banyak ulah.”

“Antara lain menempeleng pejabat Belanda yang dianggapnya kasar dan menghina di Tubang. Rupanya sekolah itu tidak membuat dia jera untuk terus menggerakkan para pekerja pribumi agar kalau perlu mogok kerja sehingga mendapat julukan ‘De Stakking Koening’ (Raja Pemogokan),” terang J. B. Sudarmanto dalam buku Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo (2011).

Robek Ijazah

Soerjopranoto menjalankan pendidikannya hingga berhasil lulus. Belanda pun mulai menempatkannya di Dinas Penyuluhan dan Informasi Pertanian di Wonosobo pada 1914. Penempatan itu memang direncanakan. Belanda tak ingin Soerjopranoto kembali ke kampung halamannya, Yogyakarta dan berbuat onar.

Namun, bukan Soerjopranoto namanya jika tak mampu mendapatkan panggung di Wonosobo. Ia tetap melanggengkan agendanya untuk mendukung kepentingan wong cilik, dibanding kepentingan Belanda. Tindak-tanduk itu jadi bukti bahwa ia berdiri di antara kaum bumiputra di Nusantara.

Keteguhan hatinya membela kaum bumiputra terlihat jelas kala Belanda mulai main pecat pegawai. Soerjopranoto tak terima. Apalagi, kala Asisten Wedana Temanggung dipecat karena masuk Sarekat Islam. Alasan Belanda dianggapnya tak logis.

Amarahnya terbakar. Ia mendatangi Asisten Residen Banyumas. Perdebatan pun tersaji. Namun, pegawai Belanda itu tak mau mendengarkan narasi Soerjopranoto. Sebagai bentuk kekesalan, rekan H.O.S Tjokroaminoto dan Agus Salim ini menggeluarkan surat pengangkatan dan ijazahnya.

Kesejahteraan buruh menjadi perhatian utama Soerjopranoto, sehingga dia sering mencetuskan pemogokan untuk melawan ketidakadilan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ini adalah aktivitas buruh perkebunan tebu di Yogkakarta pada 1920. (KITLV)

Keduanya dirobek-robek di muka pejabat Belanda. Semenjak itu ia mengumandangkan janji tak mau bekerja untuk pemerintah Belanda. Alias, Soerjopranoto mulai memantapkan langkahnya 'mewakafkan' diri untuk perjuangan membela kaum lemah. Karenanya, ia dikenang luas oleh bangsa Indonesia sebagai Pahlawanan Nasional yang berjasa bagi bangsa, utamanya bagi kaum buruh.  

“Soerjopranoto yang waktu itu menjadi Kepala Dinas Pertanian Wonosobo buru-buru datang dan melabrak Asisten Residen Banyumas dan menuntut keadilan atas tindakan sewenang-wenang atas diri rekannya. Setelah beberapa saat berdebat seru, Soerjopranoto menyadai bahwa tak ada gunanya berdebat dengan aparat kolonial ini. Di saat itu juga ia keluarkan Surat Pengangkatan Jabatan dan Surat Ijazah dari Middelbare landbouwschool (Sekolah Pertanian) untuk disobek-sobek di hadapan pembesar kolonial ini, dan terucap ikrarnya: sejak detik ini aku tidak sudi bekerja untuk pemerintah Belanda.”

“Nyonya Jauharin Insyiah Soerjopranoto yang selalu mendampingi suaminya dengan tenang dan sabar memungut sobekan-sobekan ijazah itu dan menempelkannya kembali setibanya di rumah. Bukan karena harapan bahwa di suatu ketika suaminya mau bekerja kembali pada pemerintah kolonial, namun dengan penuh kesadaran ia hendak ikut mencatat sejarah, bahwa sejak saat itu perjuangan suaminya telah paripurna menempuh jalan non koorporasi – non kompromis,” ujar anak Ki Hajar Dewantara, Bambang Sukawati dalam buku Raja Mogok R.M Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan (1983).