JAKARTA - Keputusan maskapai dagang Belanda, VOC memonopoli perdagangan rempah sudah bulat. Barang siapa yang menolak kuasa Kompeni akan diperangi. Narasi itu banyak membawa ketakutan. Apalagi, Kompeni gemar menaklukkan banyak kerajaan lokal.
Fakta itu nyatanya tak membuat Bataha Santiago takut. Penguasa Kerajaan Manganitu yang terletak di Sangihe itu justru memilih jalan pedangnya sendiri. Ia dan segenap rakyatnya pilih perangi Belanda. Sekalipun nyawanya jadi taruhan. Penjajah harus perangi, bukan dikasihi.
Kompeni punya ragam cara memonopoli perdagangan rempah di Nusantara. Dari cara halus dan kasar. Cara halus lebih mengedepankan negosiasi. Sedang cara kasar adalah perang. Kompeni pun tak pernah gentar dengan opsi perang. Sebab, mereka sudah dibekali armada perang memadai bak sebuah negara.
Andil itu membuat kuasa monopoli tak perlu memeras banyak keringat bagi Kompeni. Empunya kuasa tinggal menentukan lokasi. Ajak kerja sama. jikalau tak mau, maka akan diperangi. Narasi berulang-ulang itu terus dilanggengkan sebelum Kompeni menemukan siasat lebih ampuh politik divide at impera, pecah belah dan kuasai.
Ajian peperangan sudah terbukti dapat membuat Kompeni menang di Jayakarta –sebuah kota yang diubah Kompeni jadi Batavia pada 1619. Narasi yang sama juga langgeng di Kepulauan Banda pada 1621. Kemenangan dan keungulan Kompeni dalam perang membuat mereka berada di atas angin.
Kawasan lainnya pun dilirik. Sumatra Utara, salah satunya. VOC kepincut dengan hasil cengkeh Kerajaan Manganitu. Kompeni pun bermaksud mengajak Bataha Santiago yang notabene memimpin Kerajaan Kristen Katolik Manganitu untuk bekerja sama.
Bataha Santiago dianggap Belanda tak perlu repot-repot menanam, mengambil pajak, dan lain sebagai. Pokoknya Bataha Santiago tinggal menerima persenan dari Kompeni atas monopoli. Narasi tak disetui oleh Bataha Santiago.
Kompeni ikut pula menyertakan syarat supaya hanya satu agama saja yang berkembang di Sangihe, yakni Protestan. Niatan itu membuat Bataha Santiago angkat senjata pada 1675.
“Raja Bataha Santiago setelah mengetahui maksud Kompeni untuk menyerang kerajaan, tidaklah tinggal diam. Rakyat yang sangat mencintainya menghimpun kekuatan dengan bersenjata tradisional seperti tombak dan pedang lengkap dengan perisainya. Yang bersedia berperang bukan saja lelaki tetapi juga ada pasukan-pasukan wanita. Untuk memimpin semua pasukan itu, adik raja bernama Diamanti bertindak sebagai panglima.”
“la dibantu oleh adik lelakinya bernama Gaghinggilhec serta dua orang adik perempuan bernama Apueng dan Sapela. Keempat pemimpin perang ini masing-masing dinamakan Babaning yang artinya Panglima. Pasukan wanita dipimpin oleh kedua bahaning wanita di atas,” tulis J.P. Tooy dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara (1984).
Dihukum Gantung
Kompeni pun tak gentar. Empunya kuasa dengan siap sedia segera mengumpulkan pasukan dari daerah yang sudah ditaklukkan atau bekerja sama dengannya. Dari Tahuna hingga Ternate. Pasukan tuan kulit pun segera berkolaborasi dengan kaum bumiputra setempat.
Perlawanan sengit dilanggengkan Belanda. Serangan pertama dan kedua mampu diantisipasi pasukan Bataha Santiago. Namun, pengepungan kepada kantung-kantung kekuatan pasukan Manganitu mengubah segalanya. Kekuatan yang tadinya solid mulai lemah.
Belanda dengan mudah memukul mundur pasukan Manganitu. Apalagi, perlengkapan senjata yang tak sebanding semakin menegaskan bahwa Belanda mampu keluar sebagai pemenang. Puncaknya, Bataha Santiago pun ditangkap dan ditahan Belanda.
Belanda tak ingin pengaruh Bataha Santiago tetap bergaung. Opsi satu-satunya untuk memutus mata rantai perlawanan adalah melanggengkan hukuman gantung pada Bataha Santiago. Eksekusi itu dilanggengkan di Tanjung Tahuna (kini: Tanjung Santiago) pada tahun yang sama, atau pada 1675.
Boleh jadi ajian itu membuat Belanda berhasil menaklukkan kawasan Sangihe. Namun, bagi kaum bumiputra upaya perlawanan itu begitu membekas. Pemerintah Indonesia pun mengabadikan keberanian Bataha Santiago dengan memberikannya gelar sebagai Pahlawan Nasional. Gelar itu secara paripurna diberikan pada 10 November 2023.
“Penggantinya adalah Raja Bataha Santiago (Don Siut Jugov) yang memerintah pada tahun 1670-1675, dengan pusat kekuasaannya Bawohung Tiwo. Pada tahun 1675, beliau ditangkap dan dipenjarakan, kemudian digantung di Tanjung Tahuna, dimana makamnya berdiri megah karena tidak mau tunduk kepada pemerintah Belanda.”
BACA JUGA:
“Beliau adalah satu-satunya raja Sangihe yang melawan penjajah Belanda, sehingga nama dan jasanya tetap diingat sebagai salah seorang pahlawan. Karena itu namanya dipakai sebagai nama salah satu kesatuan ABRI (INI-AD) di Manado yaitu KOREM (Komando Resimen) 131 KODAM XIII Merdeka,” tertulis dalam buku Sejarah Daerah Sulawesi Utara (1982).
Bataha Santiago dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dalam sebuah seremoni yang dipimpin Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta pada 10 November 2023.