JAKARTA - Etnis China kerap nelangsa di bawah pemerintahan Soeharto dan Orde Baru (Orba). Empunya kuasa menggolongkan etnis China sebagai non-bumiputra. Status itu membuat mereka sulit berkembang. Dari segi kebudayaan hingga usahanya.
Narasi itu diamini James Riady. Ia merasa bisnis keluarganya, Grup Lippo jalan di tempat era Orba. Siasat dimainkan. Grup Lippo mendekati Bill Clinton sebagai ajian akrab dengan Orba. Mereka menawarkan Bill sesuatu yang sulit ditolak: dana kampanye jadi Presiden Amerika Serikat (AS).
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China pernah dianggap membawa petaka. Inpres yang dikeluarkan oleh Soeharto itu menegaskan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat China hanya boleh dirayakan terbatas.
Kegiatan boleh dilanggengkan di lingkungan keluarga dan dalam ruang tertutup. Narasi itu membuat etnis China tak diakui oleh negara sebagai suku bangsa bumiputra. Mereka justru dikategorikan sebagai non-bumiputra. Aturan itu dilanggengkan supaya orang China segera berbaur dengan ragam suku asli Indonesia.
Urusan berbaur sebenarnya tak jadi masalah. Kehidupan etnis China dan etnis lokal sudah melebur sejak dulu kala. Namun, andil paham komunisme yang besar di China membuat orang China di Nusantara kena imbasnya. Pun karena paham itu termasuk paham terlarang di Indonesia. Orba melihat orang China berpotensi jadi komunis.
Masalah pun muncul. Barang siapa yang terlahir sebagai etnis China bak ketiban sial. Sekalipun sosok itu memiliki pengaruh besar dan kaya raya. Ayah dan anak, Mochtar dan James Riady, misalnya. Konglomerat beretnis China-Indonesia yang berdiri di bawah panji Grup Lippo tak dapat bergerak bebas.
Bisnis mereka tak dapat perhatian lebih Orba. Apalagi diunggulkan. Grup Lippo ingin supaya Orba memberi Grup Lippo kesempatan untuk besar. Pucuk dicinta ulam tiba. James dianggap bak juru selamat.
Kegiatan James melanggengkan bisnis di dunia perbankan di Arkansas, AS pada 1970-an jadi muaranya. Pekerjaan itu nyatanya membawa James berkenalan dengan tokoh politik setempat, macam William Jefferson Clinton atau yang lebih dikenal Bill Clinton.
Keduanya kemudian akrab bak sahabat. James kerap mendukung kegiatan politik Jaksa Agung kemudian Gubernur Arkansas itu. Apalagi, kala James mendirikan sebuah bank milik Grup Lippo di Arkansas. Worthen Bank, namanya.
Istri Bill, Hillary kemudian didaulat sebagai pengacara Worthen Bank. James pun mengetahui rencana Bill yang ingin mencalonkan diri dalam Pilpres AS. Ayah James tak tinggal diam. Hubungan baik anaknya dengan Bill dilirik bak peluang. Bill dianggap sebagai calon pemimpin AS masa depan.
Kondisi itu membuat Bill dianggap sebagai sosok yang mampu membujuk Soeharto memberikan kuasa besar Grup Lippo berbisnis di Nusantara. Bahkan, James kerap mendorong Bill untuk berjumpa dengan Soeharto.
“Keluarga Riady adalah pengusaha terkemuka, namun mereka juga merupakan etnis China di negara yang sangat tidak mempercayai orang China. Oleh karena itu, meskipun mereka sukses, kecil kemungkinan mereka untuk diterima di lingkaran dalam Presiden Suharto. Hal itu membatasi peluang Lippo untuk memenangkan proyek miliaran dolar AS dalam kontrak yang diberikan Orba kepada teman dan anggota keluarganya.”
“Koneksi Clinton dianggap dapat mengubah semua itu. Hal ini menempatkan keluarga Riady dalam kategori ‘gerbang masuk’ ke Gedung Putih jika pemerintah Indonesia – atau pemerintah Tiongkok – menginginkannya. Tujuan Riady adalah menjual hubungannya dengan Clinton kepada dua pemerintahan, Indonesia dan Tiongkok. Narasi itu diungkap seorang mantan eksekutif Lippo, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya,” ungkap Sharon LaFraniere dan kawan-kawan dalam tulisannya di Surat Kabar Washington Post berjudul The Riadys' Persistent Pursuit of Influence (1997).
Sponsori Dana Kampanye Bill Clinton
Grup Lippo senang bukan main melihat rencana Bill mencalonkan diri sebagai Capres dari Partai Demokrat pada 1992. James, apalagi. Ia mampu melihat bahwa Bill yang notabene rekannya adalah sosok pemimpin AS masa depan.
James pun menawarkan segala macam bantuan. Semuanya dalam rangka memuluskan langkah Bill menjadi presiden AS. James memahami ongkos kontestasi politik, apalagi Pilpres memiliki biaya yang luar biasa mahal. Di AS, apalagi.
Grup Lippo pun melihat celah. Kebutuhan akan dana besar jadi celah masuk James untuk mengambil hati Bill. James dan Grup Lippo sampai menyumbang lebih dari ratusan ribu dolar AS kepada Partai Demokrat sedari 1991.
Peran James membawakan hasil yang gemilang. Sederet pengusaha China atau keturunan China ikut pula menyumbang kepada Partai Demokrat. James menamakan jaringannya bernama China Connection. Tujuan mereka satu. Bill dapat naik takhta sebagai Presiden AS yang baru.
Pucuk dicinta ulam tiba. Bill mampu jadi Presiden AS yang baru pada 1992. Terpilihnya Bill digadang-gadang karena sokongan besar dari James dan kawan-kawan. Pun dalam pencalonan Bill untuk periode dua, mesin bisnis James dan Grup Lippo ikut mendukung Bill hingga naik takhta untuk kedua kalinya pada 1997.
Grup Lippo pun menempatkan mantan karyawannya, John Huang untuk menghimpun dana kampanye di Komite Nasional Demokrat (DNC). John Huang lalu didaulat Bill sebagai deputi menteri perdagangan Amerika Serikat. Namun, dukungan James tak berlangsung mulus saja. Dana kampanye yang diberikan juga pernah dianggap ilegal oleh pemerintah AS.
BACA JUGA:
“James Riady kelahiran 1957 sejak kecil bersekolah di Macao, kota Portugis di China yang menjadi sarang Mafia China. Tahun 1975 berangkat ke Amerika Serikat dan bekerja di sebuah bank; tahun 1976 mendirikan Worthen Bank di Little Rock, Arkansas, dan mendapat bantuan dana dari Lippo Group Indonesia; bertemu dan bersahabat dengan keluarga William dan Hillary Clinton.”
“Tahun 1983 mendirikan Lippo Financial Investment di mana Hillary menjadi pengacara Worthen Bank James Riady menyumbang dana bagi kampanye kepresidenan Bill Clinton tahun 1993 dan 1997. Presiden Clinton khusus menemui keluarga Riady saat berkunjung ke Indonesia ketika menghadiri Pertemuan APEC di Bogor pada 1994,” terang Sri Bintang Pamungkas dalam buku Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan menguasai Nusantara (2014).