Bagikan:

JAKARTA - Benih keberanian mengalir deras dalam sosok Mohammad Tabrani. Nyalinya melanggengkan frasa persatuan Indonesia tiada dua. Ia dan kawannya berani bergerak menginisiasi Kongres Pemuda I. Suatu ajang mempertemukan pemuda dari berbagai suku bangsa di Batavia (kini: Jakarta).

Tabrani berperan besar. Ia dapat menjelma jadi apa saja. Kadang kala bak pelobi andal. Kadang pula bak pemimpin kongres cekatan. Inisiasi pun diterima seisi segenap pemuda. Bahasa Indonesia jadi bahasa nasional.

Pendidikan adalah alat pembebasan. Narasi itu diamini oleh Mohammad Tabrani Soerjowitjirto. Pemuda kelahiran 10 Oktober 1904, Pamekasan, Madura, itu masuk golongan bumiputra yang beruntung. Ia mampu mengakses pendidikan memadai di era pemerintah kolonial Belanda.

Kesempatan itu tak disia-siakan Tabrani. Ia tak hanya fokus di ruang kelas Sekolah Menengah Pertama, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Surabaya. Sebab, Tabrani juga ikut larut dalam gerakan kepemudaan. Jong Java, namanya.

Kehadirannya di Jong Java mampu menambah kepekaannya terhadap nasib kaum bumiputra yang nelangsa. Ia kemudian banyak mengenal sesama pejuang kemerdekaan Indonesia. Pun diskusi-diskusi politik jadi mendekatkan mereka.

Mohammad Tabrani (berdiri kedua dari kiri) saat Kongres Bahasa I di Surakarta, Juni 1938. (Dok. Museum Sumpah Pemuda)

Perjuangan Tabrani tak lantas berakhir kala ia memilih melanjutkan pendidikannya ke Bandung. Alias di Algemeene Middelbare School (AMS) setingkat SMA di Bandung. Perjuangan melemparkan ide-ide kemerdekaan terus berlanjut di Kota Kembang.

Keinginan itu kian kuat karena Tabrani langgengkan satu hobi baru: menulis. Mulanya ia aktif menulis di koran organisasi yang ia geluti. Belakangan, tulisannya mampu diterima oleh koran bahasa Melayu dan Belanda.

Kesibukannya di dunia pergerakan harus dibayar mahal. Ia tak naik kelas dan terpaksa pindah ke sekolah lainnya. Ia memutuskan melanjutkan pendidikan di sekolah yang disediakan bagi bumiputra yang ingin jadi pejabat pemerintah kolonial di OSVIA.

Tabrani lulus. Namun, ia ogah jadi pejabat Belanda. Ia memilih untuk melanggengkan mimpinya sebagai jurnalis pada 1925. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia pun memiliki gagasan besar. Ia karap melihat ide-ide kemerdekaan kian sulit dilanggengkan karena ragam suku kaum bumiputra merasa berjuang sendiri-sendiri. Semenjak itu Tabrani memiliki inisiasi menyatukan semua suku bangsa dalam sebuah hajatan. Kongres Pemuda I, namanya.

Mohammad Tabrani, sosok pejuang kemerdekaan yang baru diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. (Wikimedia Commons)

“Di bidang pergerakan kepemudaan Tabrani memulainya di Jong Java, di mana ketika di Batavia, beliau mencetuskan rencana menyelenggarakan Kongres Pemuda I pada tahun 1926 bersama Suwarto dan Suwarno (juga dari Jong Java), Bahder Djohan, Djamaludin (Adinegoro) dan Sarbaeni dari Jong Sumatranen Bond.”

“Jan Toude Soulehuwy dari Jong Ambon, Paul Pinontoan dari Pelajar Minahasa, Hamami dari Sekar Rukun, Sanusi Pane dari Jong Batak. Seperti diketahui, Kongres Pemuda I inilah yang melahirkan ikrar: Bertumpah Darah Satu, tetapi belum sempat diumumkan dan baru diumumkan pada Kongres Pemuda II 1928,” tertulis dalam laporan Majalah Pers Indonesia (1981).

Bahasa Indonesia, Bahasa Persatuan

Keterlibatannya dalam Kongres Pemuda I bukan melulu sebagai ketua kongres belaka. Ia mampu menjelma sebagai apa saja supaya Kongres Pemuda I dapat berjalan sesuai jadwal, 30 April hingga 2 Mei tahun 1926. Dari pelobi hingga ketua kongres.

Siasat pun dimainkan. Ia mulai melobi pemerintah kolonial untuk memperoleh izin acara. Tabrani menjanjikan bahwa Kongres Pemuda I jauh dari agenda makar. Padahal, yang dibicarakan adalah nilai persatuan untuk melawan penjajah.

Hari yang ditunggu pun tiba. Pembukaan Kongres Pemuda I dilanggengkan di Gedung Vrijmetselaarsloge (kini: gedung Bappenas). Ia telah berpesan kepada rekannya untuk membuat mata-mata Belanda yang hadir tak fokus dengan jalannya Kongres Pemuda.

Ajian itu membawakan hasil. Mata-mata Belanda larut dalam obrolan seru sampai melupakan isi kongres. Pun satu-satunya jalan untuk pemerintah kolonial memperoleh jalannya sidang adalah melalui Tabrani.

Kongres Pemuda I pun berhasil menyatukan kaum muda dari ragam suku bangsa. Mereka membahas perihal bahasa persatuan yang tepat untuk Indonesia kelak. Tokoh pemuda, Mohammad Yamin menyarankan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Diorama Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928 di Museum Soempar Pemoeda, yang melibatkan Mohammad Tabrani sebagai saah satu pencetus penyelenggaraan. (Dok. Kemendikbud)

Ide itu ditolak oleh Tabrani. Ia ingin supaya bahasa yang digunakan oleh seisi Nusantara adalah Bahasa Indonesia. Kata Indonesia merujuk kepada narasi persatuan yang telah digaungkan oleh gerakan kaum muda yang menjalankan pendidikan di Negeri Belanda, Perhimpunan Indonesia (PI).

Perdebatan sengit pun terjadi. Keduanya saling melemparkan gagasan masing-masing. Tabrani tetap berpegang nama bahasa Melayu tak elok digunakan sebagai bahasa persatuan. Sekalipun banyak unsur bahasa Melayu yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Ia menginginkan nama bahasa persatuan itu bahasa Indonesia.

Kompromi itu kemudian membawakan hasil. Usul Tabrani nyatanya dilanggengkan pada Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Sumpah itu menegaskan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia.

Perjuangan Tabrani pun mendapatkan apresiasi yang besar kala Indonesia merdeka. Sekalipun Tabrani telah meninggal dunia pada 12 Januari 1984. Ia disebut-sebut akan dijadikan Pahlawan Nasional. Narasi itu baru kesampaian pada saat era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tabrani pun diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2023.

“Sanusi Pane minta agar Muhammad Yamin dan M. Tabrani bergantian mengemukakan alasan masing-masing dalam mempertahankan pendapatnya. Sesudah kedua orang itu selesai bicara, Sanusi Pane yang adalah seorang sejarawan, sastrawan dan akhli bahasa itu lalu mengemukakan pendapatnya Ternyata pendapat Sanusi Pane berupa dukungan terhadap alasan M. Tabrani.”

“Tetapi karena masing-masing pihak tetap bertahan pada pendapatnya maka perundingan menemui jalan buntu. Untuk mengatasi jalan buntu, Panitia Kongres turun tangan mengadakan musyawarah. Berkat semangat kebangsaan dan rasa persatuan, akhirnya dapat dicari jalan keluar. Dan dicapai kata sepakat bahwa keputusan terakhir mengenai apakah bahasa persatuan, bahasa Melayu atau bahasa persatuan, bahasa Indonesia ditangguhkan sampai saat kongres Pemuda Indonesia Kedua,” terang Bambang Sularto dalam buku Wage Rudolf Supratman (2012).