JAKARTA - Setiap tahunnya, tepatnya pada peringatan Hari Pahlawan, pemerintah Indonesia menetapkan gelar pahlawan nasional baru. Untuk tahun ini, 2021, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menetapkan empat tokoh pahlawan nasional baru. Mereka adalah Tombolututu tokoh dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris tokoh dari Kalimantan Timur, Usmar Ismail tokoh dari DKI Jakarta, dan Raden Aria Wangsakara tokoh dari Banten.
Tahun sebelumnya, pada 2020, terdapat enam orang yang diberi gelar pahlawan nasional yaitu Sultan Baabullah, Machmud Singgirei Rumagesan, Purnawirawan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Arnold Mononutu, Mr Sutan Muhammad Amir Nasution, dan Raden Mattaher bin Pangeran Kusen bin Adi.
1. Tombolotulu
Mengutip Tempo, penelitian yang dimulai pada 2017 oleh Universitas Taduloka, yang bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong menghasilkan buku berjudul Bara Perlawanan di Teluk Tomini, Perjuangan Tombolotutu melawan Belanda.
Buku ini membuat diskusi dan upaya pengangkatan Tombolotutu untuk menjadi Pahlawan Nasional semakin kencang. Lewat buku itu juga ditemukan suatu fakta bahwa Tombolotutu memiliki usaha yang heroik dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Salah satunya adalah perlawanan Tombolotutu terhadap pasukan Belanda di Teluk Tomini.
Tombolutu harus menghadapi pasukan elite Belanda yang disebut pasukan marsose. Pasukan tersebut sebelumnya pernah diturunkan dalam Perang Diponegoro dan Perang Aceh. Saat itu, Tombolotutu berhadapan dengan 170 pasukan marsose sekaligus. Namun, Tombolotutu mampu menahan serangan pasukan marsose.
"Berdasarkan historis sejarah perlawanan Tombolotutu melawan Belanda, menurut saya Tombolotutu layak menjadi Pahlawan Nasional,” kata mantan sekda dan tokoh Parigi Moutong, Taswin Borman saat bedah buku 'Bara Perlawanan di Teluk Tomini, Perjuangan Tombolotutu Melawan Belanda' di aula Fakultas Teknik Universitas Tadulako Palu, melansir situs resmi pemerintah Parigi Moutong.
Wacana menjadikan Tombolotutu sebagai Pahwalan Nasional sudah disuarakan sejak 1990-an. Namun hal tersebut terkendala dokumen resmi sebagai data primer. Kalangan akademisi dan masyarakat terus menyuarakan agar Tombolulu dianugerahi gelar pahlawan.
Akhirnya pada 2014, peserta seminar internasional di Universitas Kebangsaan Malaysia mendorong pembicara sejarah Dr Lukman Nadjamuddin untuk meneliti Tombolotulu. Diketahui bahwa banyak dokumen tentang Tombolotulu yang disimpan Pemerintah Belanda.
2. Sultan Aji Muhammad Idris
Pemerintah Kalimantan Timur menyatakan bahwa diajukannya Sultan Aji Muhammad Idris diberi gelar pahlawan nasional karena perannya dalam mengusir Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sultan Aji Muhammad Idris adalah Raja Kutai Kertanegara ing Martadipura yang memerintah pada 1735-1778.
Mengutip situs web Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan, Sultan Idris tidak hanya mengusir VOC yang berada di daerah pimpinannya, namun juga membantu melakukan perlawanan di daerah sekutunya.
Sultan Idris diketahui membantu pengusiran VOC yang dilakukan Kerajaan Wajo di Sulawesi Selatan. Ia juga jadi pemimpin terdepan dalam pasukan. Selain itu Sultan Idris dikenal selama perlawanan hanya membawa sebilah keris dan tidak memakai bedil, tombak ataupun lainnya.
Pada 1736, Sultan Idris mengirim ratusan pasukan untuk membantu Kerajaan Wajo menghadapi VOC. Saat itu Sultan Idris bahkan meninggalkan istrinya yang sedang hamil untuk bertempur. Versi sejarah lainnya juga menyebut bahwa Sultan Idris meninggalkan takhtanya untuk membantu perlawanan Kerajaan Wajo.
"Semangat nasionalisme pada diri Sultan Idris sungguh dapat dibanggakan. Suatu semangat yang masih jarang dijumpai ketika itu pada beberapa patriot, yang banyak hanyalah bagaimana mengamankan dan memerdekakan daerahnya sendiri," dikutip dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan.
3. Usmar Ismail
Usmar Ismail dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia. Julukan itu diberikan karena Usmar Ismail menelurkan karya-karya film yang menakjubkan dan menjadi pelopor perfilman modern di Indonesia. Beberapa film yang diketahui produksi Usmar Ismail adalah Pedjuang (1960), Enam Djam di Djogja (1956), Tiga Dara (1956), dan Asrama Dara (1958).
Melansir situs resmi Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Usmar sempat menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta setelah proklamasi kemerdekaan. Bersama dua rekannya, Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mereka mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat.
Setelah hijrah ke Yogyakarta, Usmar juga sempat mendirikan harian Patriot dan bulanan Arena. Saat menjadi jurnalis, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi. Saat itu ia bekerja untuk kantor berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda-RI di Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada 1948.
Seiring berjalannya waktu, Usmar Ismail mulai menaruh minatnya yang lebih serius pada perfilman. Saat masih tinggal di Yogyakarta, Usmar memang setiap minggu berkumpul di suatu gedung di depan Stasiun Tugu untuk berdiskusi mengenai seluk-beluk film. Teman berdiskusinya antara lain, Anjar Asmara, Armijn Pane, Sutarto, dan Kotot Sukardi. Usmar Ismail meninggal pada 2 Januari 1971 karena sakit di usia hampir 50 tahun.
4. Raden Aria Wangsakara
Mengutip Kompas, Raden Aria Wangsakara dikenal sebagai ulama, pejuang, dan pendiri Tangerang. Dalam sejumlah literatur yang bercerita tentang Babad Tangerang dan Babad Banten disebutkan, Wangsakara adalah keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman.
Aria Wasangkara lalu lari ke Tangerang karena tidak setuju dengan saudara kandungnya yang malah berpihak kepada VOC. Ia lari bersama dua kerabatnya, Aria Santika dan Aria Yuda Negara. Setelah melakukan pelarian, Aria Wasungkara menetap di tepian Sungai Cisadane.
Ia juga diberi kepercayaan oleh Pemimpin Kesultanan Banten, Sultan Maulana Yusuf, untuk menjaga wilayah yang kini dikenal sebagai Tangerang dari pendudukan VOC. Aria Wangsakara juga pernah menjadi penasihat Kerajaan Mataram yang menyebarkan ajaran Islam. Aktivitas Wangsakara untuk menyebarkan ajaran Islam mulai tercium oleh VOC pada 1652-1653.
VOC menakuti warga Lengkong Kyai, bagian wilayah Tangerang, dengan mengarahkan tembakan meriam ke wilayah kekuasaan Wangsakara. Pertempuran tersebut tidak membuat takut justru membuahkan perlawanan rakyat Tangerang dan memicu pertempuran melawan VOC. Raden Aria Wangsakara lalu memimpin pertempuran hingga tujuh bulan dan VOC gagal merebut wilayah Lengkong.
Bagaimana seseorang diberi gelar pahlawan?
Mengutip artikel VOI berjudul Pahlawan Nasional, Haruskah Selalu Warga Negara Indonesia?, penetapan gelar pahlawan nasional diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Dalam UU 20/2009 diatur sejumlah syarat yang wajib dipenuhi dalam setiap pengajuan nama calon pahlawan nasional. Merujuk UU tersebut, yang terklasifikasi sebagai syarat umum di antaranya adalah calon pahlawan merupakan warga negara Indonesia atau orang yang berjuang di wilayah yang kini menjadi wilayah NKRI.
Selain itu, orang tersebut harus memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, serta setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara. Selain dari peraturan yang ada, sebenarnya ada unsur lain yang kerap jadi faktor penentu pemberian gelar pahlawan nasional kepada seseorang: politik.
Osa Kurniawan, dalam bukunya Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi pernah menyoroti unsur politis dalam pemberian gelar pahlawan nasional. Ia mengatakan di masa Orde Baru ada beberapa preseden pemberian gelar pahlawan yang patut dipertanyakan. Salah satunya pemberian gelar pahlawan terhadap Siti Hartinah (Bu Tien).
"Ada satu kasus yang politis juga. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Ibu Tien Soeharto. Jasanya (Bu Tien) apa? Karena mendampingi Soeharto?" tutur Osa kepada VOI.
*Baca Informasi lain soal NASIONAL atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.