Bagikan:

JAKARTA - Vanessa Angel dan suami, Febri Ardiansyah alias Bibi meninggal kecelakaan di ruas tol Jomo (Jombang-Mojokerto). Polisi menyelidiki unsur kelalaian, termasuk kecepatan mobil yang diduga mencapai 190 km/jam. Artikel ini bukan penghakiman. Tapi ada pilihan untuk berkendara santai dalam batas kecepatan legal. Kami paparkan alasan kenapa pilihan ini jauh lebih baik.

Kecelakaan terjadi Kamis siang, 4 November. Saat itu mobil nahas diisi lima orang, termasuk anak Vanessa yang masih balita, seorang pengasuh, dan sopir bernama Tubagus Joddy. Ketiganya  selamat dengan luka dan kini masih menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Bhayangkara, Surabaya, Jawa Timur.

"Setiba di KM 673+300 ruas tol Jomo, kendaraan tersebut tiba-tiba menabrak beton pembatas kiri ruas tol," kata Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Gatot Repli Handoko saat dikonfimasi, Kamis, 4 November.

Mobil nahas Vanessa Angel (Sumber: Istimewa)

Menurut dugaan awal berdasar temuan di TKP, mobil Pajero Sport bernomor B 1264 BJU itu menabrak beton pembatas dalam kecepatan tinggi. Mobil terpelanting dan berputar, sebelum akhirnya berhenti di lajur cepat.

Diketahui, saat kejadian Bibi duduk di kursi penumpang kabin depan. Tubuhnya terjepit kerangka mobil. Sementara, tubuh Vanessa yang duduk di kabin kedua, tepat di belakang Bibi terpental keluar hingga empat meter dari mobil.

"Jadi yang luka parah itu sebelah kiri, yang kebetulan suaminya duduk di depan Vanessa di belakangnya jadi parah," kata Direktur Lalu Lintas Polda Jawa Timur Kombes Latif Usman.

Sementara ini polisi menduga kecelakaan disebabkan sopir yang mengantuk. Hal lain yang dipaparkan polisi adalah tidak ditemukannya bekas pengereman di sekitar lokasi tabrakan. "Karena sopir mengantuk banting ke kiri menabrak pembatas tol sebelah kiri," kata Latif.

Dugaan kecepatan mobil Vanessa

Ilustrasi foto (William Daigneault/Unsplash)

Perkembangan terakhir, polisi membuka kemungkinan adanya unsur kelalaian dalam kecelakaan. Indikasi awal adalah dugaan kecepatan mobil Vanessa yang berada di atas batas kecepatan. Pemeriksaan sopir, Tubagus Joddy akan dilakukan setelah adanya rekomendasi dokter.

"Kemungkinan ke unsur kelalaian kayanya sih ada," ujar Direktur Lalu Lintas Polda Jawa Timur Kombes Latif Usman kepada VOI, Jumat, 5 November.

"Kita belum mendalami ke arah situ ... Untuk sementara kita akan melakukan pendampingan terlebih dulu. Pemeriksaan," sambungnya.

Penyelidikan juga akan mendalami unggahan Instagram Story Joddy beberapa waktu sebelum tabrakan. Unggahan itu disoroti publik karena perekaman gambar dilakukan Joddy sembari mengemudi tepat di KM 555 arah Surabaya, seratus kilometer dari titik tabrakan di KM 672.

Unggahan video juga menunjukkan Joddy memacu mobil tersebut hingga 180-190 km/jam, terlihat dari indikator di speedometer. Unggahan itu belakangan dihapus Joddy, meski beberapa warganet lebih dulu merekam ulang dan menyebarkannya.

Meski belum bisa menentukan secara pasti adanya unsur kelalaian, Latif menyatakan dalam runutan kecelakaan itu ada tindak pelanggaran. Salah satunya, berkendara di atas batas kecepatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), dalam pasal 23 ayat 4 mengatur batas maksimum kecepatan kendaraan di tol dalam kota adalah 60 km/jam. Sementara, batas maksimum di tol luar kota adalah 100 km/jam.

"Ya, pastilah (pelanggaran). Kecelakaan selalu diawali dengan pelanggaran," kata Latif.

The art of calm-driving

Selain telah diatur, sejatinya selalu ada pilihan untuk berkendara santai dalam batas kecepatan yang legal. Dan pilihan itu jauh lebih baik.

Santai, oke? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "santai" berarti "bebas dari rasa ketegangan; dalam keadaan bebas dan senggang." Jadi bukan berarti berkendara di bawah batas kecepatan juga.

Selain mengatur batas maksimum kecepatan, PP 79/2013 juga mengatur batas minimum kecepatan di jalan tol. Untuk jalan tol dalam kota, batas kecepatan minimum adalah 50 km/jam. Sementara, batas minimum kecepatan kendaraan di tol luar kota adalah 60 km/jam.

Dalam buku Drivetime (2016), profesor dari Departemen Bahasa Inggris dan Penulisan Kreatif Universitas Lancaster, Inggris, Lynne Pearce menjelaskan bagaimana menyetir dalam ketenangan dapat jadi terapi kognitif yang efektif.

Dalam buku itu Pearce menjadikan arsip-arsip dan literatur Inggris serta Amerika dari 'abad otomotif' medio 1900-2000. Dari eksplorasinya itu Pearce menemukan beberapa manfaat psikologis yang mengejutkan ketika kita berada di belakang kemudi.

"Meski mengemudi sekarang lebih sering dikaitkan dengan kemarahan di jalan --merujuk kehidupan di jalanan kota yang padat-- daripada relaksasi, sejatinya mengemudi dapat mengarahkan seseorang secara positif ke dalam pemikiran terstruktur. Menyetir dalam ketenangan juga mampu memancing kemunculan pertanyaan menarik tentang masa depan."

Pearce, lewat pengamatan cermat terhadap rujukan-rujukan sastra serta literatur klasik itu berhasil membuat berbagai jenis pemodelan 'peristiwa mengemudi'. Dari situ ia menemukan bagaimana mengemudi dapat berfungsi sebagai alternatif yang efektif untuk terapi perilaku kognitif.

Kegiatan mengemudi ini tentunya dalam konteks di luar kemacetan dan kondisi-kondisi lain yang memancing stres. Berkendara di jalur pedesaan dengan kecepatan 20 atau 30 mph atau menyetir di jalanan kota yang kosong bahkan mengemudi di jalur bebas hambatan bisa memunculkan sensasi kegembiraan dan membantu orang lari sejenak dari kepenatan.

"Mengemudi, berpikir, melamun" adalah elemen kunci dari seni berkendara santai versi Pearce, yang tak hanya memberi perasaan positif tapi juga dapat memancing pikiran kita menyusun langkah-langkah untuk memecahkan masalah. Terilhami.

*Baca Informasi lain soal KECELAKAAN atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya